Pancasila sebagai dasar negara adalah sumber dari
segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Lahirnya Pancasila adalah judul
pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945.
Menjelang kekalahan Tentara Kekaisaran Jepang di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang di Indonesia berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan" atau BPUPK, yang kemudian menjadi BPUPKI, dengan tambahan "Indonesia"). Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei (yang nantinya selesai tanggal 1 Juni 1945). Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Rapat pertama ini diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila.
Selanjutnya Dokuritsu Junbi Cosakai (BPUPKI)
membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar
dengan berpedoman pada pidato Bung Karno tersebut. Dibentuklah Panitia Sembilan
(terdiri dari : Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim,
dan Mohammad Yamin) yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1945, dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lahirnya_Pancasila).
Dari kutipan singkat sejarah lahirnya pancasila
tersebut diatas, dapat kita ambil pelajaran bahwa para pendiri bangsa sangat
paham bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, adat
istiadat, bahasa, dan berbagai macam perbedaan yang lain. Sehingga para pendiri
bangsa ingin menyatukan perbedaan tersebut untuk tujuan yang lebih besar, yaitu
kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya itu, para pendiri bangsa juga ingin
menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara dan menjadi akal kolektif dalam
membangun bangsa.
Dengan usia kemerdekaan 76 tahun, Indonesia
menjalani dan melalui berbagai ujian yang luar biasa. Orde Lama misalnya,
kondisi saat itu, rakyat mendapatkan sebuah keadilan, namun disisi lain rakyat
belum mendapatkan kesejahteraan. Saat Orde Baru, kesejahteraan mulai tumbuh di
masyarakat, namun orang-orang yang menyuarakan keadilan senantiasa dibungkam
bahkan ada yang dihilangkan. Pun saat ini, di Era Reformasi yang sudah berusia
23 tahun, Indonesia semakin kehilangan arah. Kita sebagai generasi penerus
bangsa, dipertontonkan perpolitikan yang kekanak-kanakan dan mengerikan. Saling
sikat, saling sikut, mementingkan kelompok dan golongannya masing-masing. Tanpa
memikirkan bagaimana agar Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia ini
terkelola dengan baik untuk memajukan dan mensejahterkan rakyat Indonesia.
Belum lagi pembelahan anak bangsa yang begitu kuat
terasa hampir sepuluh tahun terakhir. Golongan Kanan (Kaum Islamis), menuduh
Golongan Kiri ingin merubah dasar Negara, yaitu Pancasila menjadi Negara
Komunis. Apalagi Golongan Kiri, menuduh Golongan Kanan ingin merubah Dasar
Negara Pancasila menjadi Negara Khilafah. Istilah Kadrun (untuk golongan
kanan), istilah Kampret (untuk golongan Kiri) menghiasi medsos dan
obrolan-obrolan yang tidak produktif, yang menyita banyak waktu, tenaga serta
pikiran hampir sepuluh tahun terakhir.
Kawan, Demokrasi adalah pilihan bersama bangsa
Indonesia untuk menjadi cara/alat membangun bangsa, maka mari kita ciptakan
demokrasi yang asyik, menarik, memacu, merangsang ide-ide, gagasan-gagasan anak
bangsa agar keluar dengan tegas dan lugas. Mari jadikan demokrasi sebagai
industri pikiran/ide-ide, gagasan-gagasan anak bangsa untuk membangun
Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara adalah sudah final.
Dan Pancasila adalah salah satu produk
demokrasi yang luar biasa. Coba kita renungkan, betapa butir-butir Pancasila
itu telah menjaga anak bangsa selama 76 tahun agar terus tumbuh dan berkembang
memajukan Indonesia. Adapun Teks Pancasila adalah sebagai berikut:
Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Begitu indah bunyi Pancasila tersebut, Pancasila
melindungi hak orang untuk beragama, pancasila membentuk pribadi yang adil dan
harus nampak adil serta berperilaku yang baik, pancasila menyatukan semua anak
bangsa tanpa membedakan Suku, Agama, Ras, dan Adat Istiadat, Pancasila juga
ingin memberikan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Jika kita sebagai anak bangsa menemukan
“penyimpangan-penyimpangan” dalam pengamalan Pancasila, baik itu pada sila
pertama, sila kedua, sila ketiga, sila keempat, bahkan sila kelima, maka
sebaiknya kita duduk bersama (sambil ngopi-ngopi) untuk merumuskan, merancang
dan membangun Indonesia ini ke depan. Saatnya para pemimpin bangsa, baik itu
eksekutif, legislatif dan yudikatif memberikan ruang dialog, ruang diskusi
kepada rakyat, khususnya anak muda, milenial untuk mengeluarkan ide-ide,
gagasan-gagasan dalam membangun Indonesia kedepan. Mau gak mau, suka gak suka,
anak muda/milenial tersebutlah yang akan menjadi generasi penerus bangsa.
Saatnya para pemimpin negeri ini menjadikan
Pancasila sebagai Permadani Bangsa, yaitu sebagai karpet merah, yang bisa dan
nyaman diduduki oleh seluruh anak bangsa, tanpa melihat suku, agama, ras, dan
adat istiadat mereka. Kita harus mencontoh para pendiri bangsa, bagaimana para
pendiri bangsa menyikapi, menghadapi perbedaan diantara mereka…? Mereka
menghadapi perbedaan dengan dialog, diskusi dengan melepaskan ego, kepentingan
pribadi dan golongan demi kepentingan yang lebih besar, yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kekuasaan datang silih berganti, namun persatuan dan
kesatuan harus kita junjung tinggi.
0 Komentar