Setiap anak dilahirkan berbeda. Oleh karenanya, cara mendidik dan mengetesnya pun harus berbeda.
Pernahkah kita berpikir untuk meninjau ulang materi pembelajaran yang diberikan di sekolah?
Jawaban sebagian orang mungkin pernah tapi sudah tidak lagi karena sudah tidak sekolah dan sudah sibuk oleh pekerjaan. Untuk apa meninjau sesuatu yang telah berlalu? Begitu?
Sekarang, mari kita berpikir sejenak tentang waktu.
Kita semua paham bahwa waktu adalah hal paling berharga dalam hidup. Sekali terlewat, tidak bisa diulang kembali. Walaupun, tentunya, hal itu tidak berlaku bagi penganut teori penjelajahan waktu.
Namun, kita semua sepakat dalam satu hal: waktu adalah hal berharga. Waktu harus digunakan semaksimal mungkin untuk pemenuhan potensi kita.
Dalam hidup manusia, waktu mereka terbagi dalam beberapa masa: masa kanak-kanak, masa sekolah, masa kerja dan berkeluarga, dan masa tua. Sekarang kita akan berbicara tentang masa sekolah.
Masa Sekolah
Masa sekolah adalah suatu masa yang panjang. Saking panjangnya, cukup banyak acara yang terjadi berlandaskan masa itu, termasuk reuni.
Lantas, apa saja yang sudah kita lalui semasa sekolah?
Orangtua mengirim anaknya ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan. Tujuannya adalah untuk membuat mereka pintar.
Namun, definisi pintar yang diyakini orangtua dan pendidikan sekarang amatlah berbeda dengan definisi pintar yang secara alami dikaruniakan pada manusia.
Dalam dunia game simulasi, kita mengenal beberapa profesi yang kita pilih untuk menunjang peradaban. Di situlah kita melihat bahwa setiap orang berpartisipasi dalam fungsi berbeda di masyarakat.
Namun, pendidikan mengotak-ngotakkannya menjadi beberapa profesi keahlian saja, seperti dokter, profesor, guru, dan profesi lainnya yang membutuhkan ilmu.
Mereka melakukannya dengan materi pembelajaran seperti fisika, kimia, dan ilmu lainnya yang dibuat rumit. Seolah setiap siswa dipersiapkan untuk mengikuti olimpiade mata pelajaran tingkat dunia.
Padahal, setiap anak dilahirkan mengisi fungsi berbeda. Itu artinya, setiap anak membutuhkan ilmu dan pengetahuan berbeda. Oleh karenanya, cara mengetes seharusnya dibedakan setiap anak.
Bagaimana Kesiapan Profesi di Indonesia?
Sebenarnya sudah banyak profesi yang tersedia di Indonesia. Indonesia pun sudah mulai membuka jalur hiburan yang berpeluang cukup besar bagi siapa saja.
Begitu pula dengan profesi settled dengan gaji rutin tiap bulan. Negara ini juga sudah membuka banyak peluang bagi siapa saja untuk berwiraswasta.
Dengan besarnya peluang profesi tersebut, sudah tentu Indonesia sangat siap memberikan beragam lapangan pekerjaan bagi para penerus bangsa.
Namun, pendidikan rupanya yang tidak menyiapkan hal itu. Akhirnya, sebagian besar materi pelajaran yang diajarkan menjadi sia-sia.
Sebagian besar profesi yang tersedia dan menjanjikan ternyata tidak mengharuskan seorang anak menguasai ilmu terapan.
Bahkan, sebagian besar pekerjaan hanya membutuhkan kemampuan menghitung dan berbahasa.
Dengan demikian, bagaimana dengan waktu yang telah terlewat untuk mempelajari semua itu?
Jika dibilang terbuang sia-sia, saya yakin tidak. Semua waktu itu bisa menciptakan kedisiplinan diri. Namun, apakah disiplin harus berpikir keras? Tidak.
Nah, di sinilah letak kekurangan pendidikan.
Hampir semua guru mengatakan bahwa soal sejenis "Kenapa hal itu bisa terjadi?" dapat mengasah kemampuan berpikir kritis siswa. Memang benar.
Namun, pelajaran Bahasa Indonesia saja sudah cukup untuk mengasah kemampuan berpikir kritis.
Bagaimana Kesiapan Pendidikan untuk Profesi
Nyatanya, pendidikan memang tidak disiapkan untuk profesi non-ahli.
Materi yang diajarkan sebagian besar adalah semata untuk mempersiapkan siswa menjalani profesi ahli. Padahal, pekerja non-ahli juga sangat dibutuhkan.
Selain itu, materi dan tugas yang diberikan adalah untuk membentuk kedisiplinan. Dalam kata lain, siswa disiapkan untuk menjadi pekerja.
Bukan berarti pekerja adalah suatu hal yang buruk. Namun, itu menunjukkan bahwa materi yang diajarkan di sekolah sangatlah terbatas, dalam artian tidak mendukung seluruh kebutuhan profesi.
Oleh karenanya, pada setiap awal kerja, seseorang akan melalui masa percobaan setidaknya selama tiga bulan. Dalam masa itu, calon pegawai akan dievaluasi apakah dia dapat mengerjakan tanggung jawab yang akan diterimanya dengan baik.
Jadi, apakah bersekolah menunjang pekerjaan? Sedikit banyak, ya. Karena dengan bersekolah, kita membangun kedisiplinan dan ketangguhan dalam mengerjakan tugas. Selain itu tidak.
Pasalnya, sebagian besar materi yang diberikan hanyalah sebatas teori, bukan praktik. Bagaimana dengan tugas-tugas yang diberikan? Semua itu adalah penguatan teori.
Sehingga siswa tidak tahu apa gunanya seluruh materi yang diberikan itu.
Seharusnya, setiap materi harus diperkuat dengan praktik. Siswa harus tahu fungsi teori yang telah diajarkan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Nyatanya, hal itu sulit dilakukan. Kenapa? Karena teori, terutama ilmu terapan, memang dipersiapkan untuk hal yang jauh lebih rumit daripada kemampuan siswa.
Lantas kenapa teorinya harus dipahami sekarang? Jawaban mudahnya adalah untuk memudahkan mereka memahami teori yang lebih kompleks lagi ketika sudah kuliah.
Pertanyaannya, bagaimana bila para siswa itu tidak mengambil jurusan yang membutuhkan teori rumit tadi? Apakah lantas teori dan kerja keras yang telah dikeluarkan sia-sia?
Saya tidak ingin menjawabnya.
Cara Menyiapkan Pendidikan untuk Profesi
Sekarang, fenomena salah masuk jurusan sudah menjadi hal yang biasa. Kenapa? Karena memang pendidikan Indonesia masih belum mempersiapkan siswa untuk memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakat.
Bisa saja seorang anak minat di suatu bidang, tetapi dia tidak berbakat di sana. Atau bakat di satu bidang tetapi berminat mengambil jurusan yang lain.
Setiap siswa memang berhak memilih. Namun, mereka seharusnya dididik untuk mengetahui potensi mereka.
Ada sebuah teori yang mengklasifikasikan gaya belajar anak, yaitu audio, visual, dan kinestetik. Biasanya ada juga anak yang memiliki gabungan dari beberapa gaya belajar itu.
Dengan mengetahui gaya belajar ini, siswa tidak akan salah dalam memilih jurusan.
Gaya belajar audio berarti siswa lebih mudah belajar jika mendengarkan. Visual berarti siswa harus melihat dan menyimak. Sedangkan kinestetik berarti siswa harus bergerak atau melakukan sesuatu agar paham.
Agar guru bisa menyesuaikan gaya belajar setiap siswa, hendaknya materi pembelajaran bisa dievaluasi ulang. Tugas dan kegiatan belajar juga perlu disesuaikan dengan tiap gaya belajar anak.
Setelah itu, hendaknya pemerintah memberikan diberikan gambaran profesi yang bisa diambil dari setiap jurusan. Sehingga siswa tidak salah jalan.
Image by Jan Vašek from Pixabay
0 Komentar