Hampir satu minggu genapnya aku selalu memikirkan tentang hujan. Bukan karena apa, pasalnya tema pekan ini adalah tentang hujan. Jika memikirkan hujan, maka aku selalu ingat malam. Ingat tentang bagaimana tanah basah dengan aroma khas yang membawa kenangan. Seperti menjebak dan memerangkap ingatan agar senantiasa mendekap nuansa tersebut. Nuansa yang sudah lama lewat.
Namun bagaimana jika kemudian nuansa-nuansa itu tak habis dalam sekali duduk saja?
Mengenangnya.
Begitu.
Maksudku, mustahil aku bisa melukiskan segala kenangan yang bercokol dari hujan.
Mustahil pula bila aku memaksakan diri untuk menulis kisah yang sudah lewat.
Atau sebagaimana mustahilnya aku menghalau segala imaji yang menentang guratan masa lalu.
Tentu tidak bisa. Tidak semudah itu. Sebagaimana harusnya tetesan air memahami bahwa guratan di atas permukaan batu tidak semudah itu dibinasakannya. Butuh kesabatan dan keuletan agar sesuatu yang telah terukir harus ditindas dengan pola baru. Begitu juga dengan guratan lama yang dibasuh oleh hujan baru.
Sedangkan aku masih berpikir, adakah hujan yang datang kali ini adalah hujan baru atau justru ini adalah hujan rindu? Hujan yang menjadi penghubung antara hujan yang satu dengan hujan yang lain? Hujan penerus dari cerita hujan yang sudah-sudah.
Tentu saja ketika aku bertanya kepada mereka, mereka tak sempat menyahut. Ritik hujan itu meluncur dengan cepatnya. Menengok sebentar ketika kupanggil, kemudian pecah berbenturan dengan tanah.
“Pernahkah kau melihat istana?” tanya kekasih hujanku.
“Pernah. Aku bahkan melihat yang paling megah di atas langit sana!” jawabku.
Dia menggeleng. “Ada yang lebih megah.”
Mataku membulat. “Kau bisa membawaku ke sana?”
Dia menggeleng. “Bahkan aku tak bisa membawamu ke istana yang kau ceritakan. Kelak, jika beruntung, kau akan melihatnya sendiri.”
Itulah percakapan terakhirku dengan kekasih hujan. Sebelum dia menguap menjadi butiran embun ketika fajar mulai menyingsing.
Maka, ketika aku mengingat tentang hujan, aku benar-benar tak merasakan apa-apa. Aku tak ingat apa yang akan kubawa.
Hujan selalu datang seolah ia adalah pertanda. Kemudian pergi begitu saja tanpa meninggalkan bekas. Jika aku tak salah, genangan air ini bukanlah ia. Gejolak yang mengamuk dan menyeret banyak hal ini bukanlah ia. Hujan terlalu manis dan lembut untuk disalahkan.
Bagaimana jika aku salah?
0 Komentar