Sebenarnya, sudah lama saya ingin mengulas film berjudul "Freedom Writers" ini. Namun, saya masih belum mengetahui bagaimana cara menyampaikannya dengan benar karena film ini adalah salah satu film favorit saya. Kenapa? Karena film ini menggambarkan perjuangan seorang guru yang mengubah perilaku siswanya dari bandel hingga menjadi rajin dan pintar. Dari film ini juga saya yakin bahwa jika seluruh guru di Indonesia memiliki watak seperti tokoh utama dalam film ini, saya yakin tidak akan ada pelajar yang melakukan kekerasan dan penyimpangan.
Film yang diproduksi oleh Paramount Pictures ini menceritakan tentang seorang sarjana hukum yang berpendapat bahwa melindungi anak-anak dari kekerasan di depan jaksa adalah terlambat. Menurutnya, pada saat itu anak-anak sudah mengalami kekerasan sehingga upaya hukum apapun, walaupun berhasil, tetap tidak bisa menghilangkan trauma yang sudah terlanjur mereka alami. Akhirnya, Erin Gruwell memutuskan untuk melindungi para remaja itu melalui pendidikan.
Film ini dimulai dengan latar belakang kekerasan yang dialami remaja dan sebagian besar penduduk karena konflik antarras, warna kulit, dan kebangsaan. Setiap orang bisa dihajar jika mereka secara sengaja atau tidak sengaja masuk ke wilayah yang bukan daerah kekuasaan rasnya. Bahkan, siapa pun akan dihajar ketika bertemu dengan seseorang atau kelompok yang bukan bagian dari kelompoknya dengan alasan harga diri karena telah dikalahkan dalam “perang” sebelumnya.
Dalam Minggu pertama, Erin sudah dikejutkan dengan kekacauan di kelasnya, kemudian kekacauan di sekolah yang melibatkan hampir seluruh siswanya. Selain itu, kenyataan bahwa ayahnya tidak bahagia dengan keputusan Erin untuk menjadi seorang guru. Ditambah dengan persentase kehadiran siswa yang terus menurun.
Kemudian, satu kejadian memunculkan satu konflik di dalam kelas hingga Erin mendapatkan pandangan tentang muridnya dan menemukan cara untuk menjinakkan murid-muridnya dengan mengetahui penyebab kenakalan mereka melalui tugas menulis diary. Dari tulisan itu, Erin mengetahui bahwa beban derita yang dialami oleh murid-muridnya terlalu berat untuk mereka emban sendirian dan tulisan-tulisan itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya "Freedom Writers". Dia pun memutuskan untuk memberikan pendidikan kepada siswanya tentang buah dari kenakalan mereka dan mengajarkan untuk ikut merasakan beban orang lain.
Keputusannya ini bukan tanpa risiko. Erin harus mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai buku-buku yang dibeli untuk muridnya karena administrasi sekolah tidak mengizinkannya meminjamkan buku-buku di perpustakaan untuk dipinjam oleh anak-anak baru dan “nakal” itu. Beberapa program belajar untuk siswa ikut dijalankan, seperti mengunjungi museum “Hollocaus” dan bertemu dengan saksi hidup korban pembantaian Yahudi. Semua program berjalan menggunakan uang Erin dari hasil kerja paruh waktunya. Semua program itu berbuah manis. Kenakalan siswa berkurang dan nilai mereka meningkat.
Ternyata, hal ini tidak membuat bagian administrasi dan guru senang, mereka malah khawatir pada rencana pembelajaran dan tidak percaya pada hasil belajar siswa Erin yang meningkat pesat dalam dua tahun. Namun, hal ini membawa kebaikan pada para remaja itu. Mereka jadi sadar bahwa tindakan mereka tidak akan membawa mereka ke mana-mana. Mereka pun yakin bahwa mereka bisa lulus SMU dengan nilai yang baik. Pandangan mereka akan Erin, yang merupakan seorang kulit putih, berubah dari keyakinan mereka sebelumnya.
Konflik masih belum berhenti di sana. Konflik-konflik lain masih mengikuti, seperti konflik yang menimpa salah satu muridnya sebagai saksi pembunuhan salah satu siswa lain yang melibatkan pacarnya, pindahnya seorang siswa dari “honored-class” ke kelasnya, penggalangan dana untuk mendatangkan penulis buku “The Diary of Anne Frank” yang cukup menyita perhatian media, dan yang paling besar yang akan membuat siapa pun mungkin berhenti melangkah adalah perceraian Erin dan Scott dengan alasan Erin yang terlalu sibuk mengurus murid-muridnya.
Menjabarkan seluruh konflik yang ada dalam film yang berdurasi sekitar dua jam ini tidak akan ada habisnya. Sosok luar biasa Erin terbukti dari langkahnya yang tak terhenti setelah konflik yang bertubi-tubi yang menimpanya. Seluruh keputusan dan tindakannya itu melahirkan cinta dalam hati siswanya hingga mereka memintanya untuk tetap mengajar di kelas selanjutnya di mana itu berada di luar beban mengajar Erin sebagai guru baru. Hal ini menciptakan konflik baru hingga memunculkan nama “The Freedom Writers Diary” untuk judul tugas akhir siswa.
Film ini bukan hanya menceritakan tentang betapa gigihnya sarjana hukum ini berusaha mengubah perilaku siswanya dari yang semula nakal menjadi jinak dan pintar, bahkan bisa dikatakan bahwa Erin berhasil menghentikan kekacauan yang terjadi pada tahun itu di Miami melalui pendekatan pendidikannya, melainkan juga film tentang bagaimana guru seharusnya memperlakukan murid. Seorang murid tidak bisa dibilang nakal karena kenakalannya sehingga tidak mendapatkan perhatian yang sama dengan murid lainnya. Walaupun tindakan yang dilakukan Erin tidak bisa dilakukan oleh semua guru, setidaknya tidak ada lagi guru yang mendiskriminasi siswa hanya karena kelakukannya setelah menonton film ini karena setiap ada alasan di balik setiap kenakalan.
Hal yang menarik dari film ini adalah bukan hanya karena film ini diangkat dari kisah nyata, melainkan juga karena tidak banyak guru yang bisa melakukan hal serupa walaupun kisah ini nyata. Penokohan dalam film ini juga dilakukan dengan sangat baik, menampilkan setiap karakter tokoh melalui diary yang ditulis mereka masing-masing. Di setiap adegan tanpa dialog, diputar musik yang sesuai sehingga tidak meninggalkan kesan “zonk”.
Mungkin kita tidak bisa menjadi seorang guru seperti tokoh utama film ini, tetapi setidaknya kita tahu bahwa kegiatan menulis diary dapat mengurangi beban yang kita tanggung dan membagikan tulisan itu untuk didengar orang banyak dapat membuat orang lain belajar memahami dan menghormati perasaan orang lain.
Gambar diambil dari Yelp
0 Komentar