Saya tidak tahu banyak tentang minuman yang memabukkan kecuali bir dan anggur, dan mungkin minuman oplosan yang bisa dibuat dengan mencampurkan beberapa bahan. Saya pun tidak tahu apakah saya harus menyebut bir atau minuman beralkohol. Selain itu, saya juga tidak tahu sejak kapan tepatnya minuman yang memabukkan itu ada dan digandrungi banyak orang. Yang saya tahu, minuman itu sudah ada sejak dulu dan dilarang pada zaman Rasulullah SAW karena membuat orang yang mengonsumsinya hilang kendali diri sehingga memberontak.
Saat ini, saya tidak tahu untuk apa beberapa orang mengonsumsi minuman jenis itu. Kita tahu bahwa saat ini kita menghadapi zaman di mana iklim cepat berubah dan suhu kian memanas. Tentu tidak tepat jika alasan mengonsumsinya adalah untuk menghangatkan diri di kala hampir semua orang berlomba-lomba membeli AC. Jika ini masalah budaya, Indonesia tidak pernah memiliki budaya meminum minuman yang memabukkan dalam sejarah sebelum orang barat itu muncul. Lalu, kenapa tiba-tiba ini menjadi sebuah trend, yang untungnya sudah dilarang? Mungkin, ini adalah sebuah pertanyaan besar yang membutuhkan aksi besar untuk mengingatkan kembali orang-orang Indonesia bahwa mabuk-mabukan bukanlah kebiasaan kita; dan kita tidak perlu meniru budaya di negara lain agar terlihat menginternasional.
Ada kalanya salah satu alasan mengonsumsi minuman seperti itu sama seperti alasan mengonsumsi narkoba yang pernah saya ulas sebelumnya: ingin hengkang sebentar dari masalah; dan sudah jelas alasan mereka terus-menerus mengonsumsinya adalah karena masalah mereka tidak akan pernah selesai. Bagaimana bisa sebuah masalah selesai tanpa ada upaya menyelesaikannya? Anehnya, orang yang mengonsumsi tidak kunjung sadar akan hal itu. Mereka terus-terusan merusak diri yang mereka sebut memanjakan diri.
Ada banyak pilihan minuman yang bisa dikonsumsi selain minuman yang memabukkan. Anggur dan bir dalam sebuah pesta bukanlah satu-satunya pilihan minuman yang menjadi ciri khas suatu pesta. Pesta atau acara apapun akan tetap disebut pesta tanpa kedua minuman itu. Suatu acara akan tetap berlangsung tanpa adanya minuman yang merusak badan itu. Sehingga pendapatan yang menyatakan bahwa tidak ada pesta tanpa kedua minuman itu adalah omong kosong yang harus diubah. Minuman memang penting, tetapi apakah harus memilih kedua minuman itu sementara ada banyak pilihan lain?
Jika kedua minuman itu dipilih karena terasa berkelas, sekali lagi saya tanyakan siapa yang pertama kali menyatakannya dan dari sisi apa minuman itu dianggap berkelas. Yang ingin saya katakan adalah: selalu ada yang pertama atas segala hal. Jika itu diawali oleh kebiasaan para bangsawan Eropa, saya ingin menanyakan apakah segala yang melekat dalam diri bangsawan adalah berkelas? Buktinya banyak bangsawan yang melakukan cara-cara kotor untuk mengkudeta, merebut kekuasaan, pernikahan dengan saudara kandung, seks bebas, semena-mena, pemungutan pajak berlebihan, boros, dan sebagainya. Jika mereka, orang yang dianggap memiliki gaya berkelas dan patut dicontoh, melakukan hal-hal yang sudah jelas salah dan menjijikkan, apakah tidak mungkin jika pilihan makanan mereka juga salah?
Kita mungkin juga pernah tahu sebuah cerita tentang orang saleh yang diberikan tiga pilihan: minum anggur, membunuh anak kecil, atau memuaskan nafsu seorang pelacur hina. Kemudian, orang saleh itu memilih meminum anggur dan melakukan kedua hal lainnya. Jika ada yang akan mengatakan bahwa setiap orang memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menahan reaksi minuman jahat itu, sampai kapan orang yang paling kuat itu bertahan dengan daya rusak alkohol dalam tubuhnya. Dalam hal ini, saya kira lebih tepat jika mengatakan bahwa setiap orang memiliki batasan masing-masing.
Minuman seperti jus jeruk, milkshake, dan sebagainya harusnya bisa menjadi pilihan minuman di acara pesta, bukan minuman memabukkan yang malah merusak tubuh. Jika memang dianggap kurang berkelas, itu karena pemikiran kita masih terpaku pada ketidakkreatifan atau mungkin table manner ala barat dan tidak memikirkan tentang anggapan bahwa minuman anggur dan sebagainya itu adalah tidak masuk akal. Untuk apa menjadi berkelas jika tubuh kita rusak dan pikiran menjadi kacau. Kenapa tidak mulai berpikir bahwa mengonsumsi minuman yang menyehatkan dan tidak memberikan kerusakan adalah makna “berkelas” yang sesungguhnya?
0 Komentar