Entah sejak kapan tradisi menyalahkan orang lain ada dan dari mana asalnya di belahan Indonesia ini. Sebagai orang Jawa yang tidak mempelajari kebudayaan Indonesia, saya hanya tahu bahwa orang-orang tua kami sering menenangkan anak kecil yang jatuh dengan cara memukul lantai atau tanah di mana anak itu jatuh. Hal serupa juga dilakukan jika anak-anak tersandung atau terbentur. Orang-orang tua kami menyalahkan benda yang membuatnya tersandung atau benda diam yang dianggap “membenturkan” diri pada anak yang terbentur itu. Di sini, saya tidak tahu apakah masalah terletak pada cara pandang atau memang ada maksud tertentu yang ingin diajarkan.
Kita semua pasti setuju jika memang nilai itu adalah tentang cara pandang, maka itu adalah salah. Cara pandang seperti itu akan mengakibatkan anak lebih mudah menyalahkan orang lain ketika dia besar. Jika hal itu dilakukan terus-menerus maka akan mengakibatkan anak tersebut dibenci dan membenci. Itu juga mengakibatkan anak menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab karena dia sudah belajar untuk mengambinghitamkan sesuatu atau bahkan orang lain atas kesalahan atau ketidaknyamanannya. Namun, jika semua itu adalah tentang memberikan pengajaran, cara tersebut amat sangat implisit yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang pemikirannya sudah matang, bukan anak-anak.
Ada kalanya orang tua kami mengajarkan suatu hal secara halus dan tersirat. Dalam hal ini, secara tidak langsung, orang tua kami mengajarkan pada orang yang lebih tua bahwa anak kecil adalah makhluk yang masih bersih dan tidak mengerti apapun. Sehingga kesalahan atau kesedihan yang dia rasakan tidak bisa dipersalahkan padanya. Harus ada orang yang lebih tua yang bertanggung jawab untuk itu, dalam hal ini orang tua kami memilih benda. Namun demikian, orang tua kami pasti tidak mengerti dampaknya di masa mendatang. Yang mereka tahu hanyalah si anak sudah berhenti menangis.
Merupakan hal yang baik jika mereka mengajarkan agar kita tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Mengajarkan bahwa kemalangan itu bukan sesuatu untuk ditangisi, melainkan sesuatu yang harus dicari penyelesaian masalahnya dan keluar darinya. Namun, harus dengan cara yang berbeda.
Cara yang paling ampuh menurut saya adalah dengan memberikan sentuhan langsung, memeluknya, ketika dia sedang menangis entah karena hal apa. Jika dia terluka, maka bisa segera diobati tanpa menanyakan siapa yang salah. Namun, akan lebih baik jika anak itu tahu bahwa dia jatuh dengan sendirinya sehingga tidak ada orang lain atau benda lain yang bisa disalahkan selain dirinya. Tentu tanpa mempersalahkan, tapi dengan memberikan pengertian bahwa tindakan atau gerakannya sendirilah yang membuatnya jatuh atau terbentur. Di sini, orangtua juga bisa mengajarkan cara bertindak atau bergerak agar tidak jatuh dengan cara yang sama.
Orangtua juga perlu memberikan penjelasan bahwa rasa sakit hanya berkunjung sementara, sehingga tidak perlu membesar-besarkannya dengan memperlama tangisan. Bahwa rasa sakit bisa mengajarkan mereka untuk menjadi lebih kuat.
Sedangkan untuk orang dewasa yang sudah terbiasa dengan menyalahkan orang lain dan tidak bertanggung jawab, saya kira cara yang paling ampuh adalah dengan selalu berusaha menyalahkan diri sendiri atas semua keburukan yang terjadi pada diri kita. Karena sebenarnya keburukan datang dari tindakan salah yang pernah dilakukan entah di waktu dekat maupun sudah amat lampau. Jika pun itu bukan merupakan kesalahan kita, pasti ada hikmah atau suatu pelajaran berharga yang bisa kita dapat dari itu. Selain mencari akar permasalahan dengan pikiran yang tenang, kita juga bisa mulai belajar mengakui kesalahan jika melakukannya masih terasa sulit. Mengakui kesalahan sulit karena dalam benak kita, kesalahan adalah perilaku kebohodohan tanpa menyadari bahwa manusia adalah tempatnya salah. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah salah, bahkan Rasul yang paling suci dengan akhlak yang menyerupai malaikat pun pernah. Kita juga perlu mengingat bahwa mengakui kesalahan juga menunjukkan keberanian dan kekuatan dalam diri kita.
Tradisi yang salah bukan untuk dipermasalahkan. Namun sudah menjadi kewajiban bagi kita, generasi penerus, untuk memperbaikinya.
0 Komentar