*Catatan ini saya buat setelah terinpirasi oleh pengalaman dalam berorgnisasi. Membandingkan bagaimana sebuah organisasi sekolah dan organisasi umum bekerja. Dan lingkup makna “dimiliki dan memiliki” ini akan menjadi luas.
Dulu saat sekolah, mengikuti sebuah oraganisasi itu artinya kita harus
disiplin dan patuh pada aturan organisasi. Mengutamakan cinta lebih dulu
sebelum menuntut lainnya. Namun dewasanya, ketika kita terjun pada masyarakat
dan bergabung dengan suatu oraganisai, mind set kita telah berubah.
Saya yakin kita selalu dididik untuk berpikir “apa yang bisa saya
berikan pada organisasi?” Itu yang kemudian membuat kita terus berupaya untuk
berprestasi ketika bergabung dalam suatu organisasi sekolah. Bisa dipastikan,
seorang siswa yang mengikuti organisasi dengan siswa lepas, maka siswa yang
mengikuti organisasi itu pasti memiliki prestasi lebih dibanding siswa lepas
itu. dan prestai itu akan dipersembahkan kepada organisasinya dengan nama
organisasinya.
Ketika masih berada di bangku sekolah, cinta adalah syarat utama kita
bergabung dengan suatu organisasi. Mungkin memang karena pemikiran seorang
siswa hanya seputar kehidupan sekolahnya tanpa memikirkan bagaimana menghidupi
dirinya dan keluarganya kemudian. Karena cara pandang ini berubah ketika kita
menjadi dewasa dan terjun dalam masyarakat.
Kepolosan seperti masa sekolah itu sudah punah. Bisa dibilang, kita
bergabung dengan sesuatu sesuai pamrih. Saat berdiskusi dengan seorang kawan,
ada satu masalah yang umum terjadi dalam sebuah tubuh organisasi. Wajarnya setiap
orang akan bertanya, “Apa yang diberikan organisasi ini padaku?” atau apa yang
mereka dapatkan setelah mereka bergabung. Ini yang kemudian menciptakan
kesenjangan yang kemudian membuat seseorang berpikir “Aku bergabung di sini loh
tidak digaji!” dan itu membuat mereka bertingkah dan bertidak sesukanya dan
didasari tanggung jawab yang jelas.
Kembali lagi kepada kepolosan siswa. Jika sedari awal bergabungnya
mereka pada organisasi, mereka didasari oleh ketertarikan dan rasa suka, maka
ketika bergabung, maka mereka akan mewarisi rasa memiliki pada organisasi
tersebut sehingga mereka akan mengupayakan seluruh sumbangsihnya kepada organisasi
itu agar organisasi terus berjaya dan menjadi terdepan dibanding yang lain.
Sedangkan ketika sesuatu dimulai dari pamrih untuk mendapatkan
sesuatu, bisa saja motivasi seperti itu akan berhenti di tengah jalan atau akan
berantakan tanpa tanggung jawab yang jelas ketika di tengah jalan ditemukan
masalah yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Tentu saja, seseorang yang sedari
awal berniat mendapatkan sesuatu dari organisasi, maka ketika ada permasalahan
yang dirasa merugikannya, dia akan kabur dari masalah itu tanpa perlu merasa
bertanggung jawab untuk menyelesaikannya, karena menurutnya organisasi itu telah
merugikannya dan tak membuatnya mendapatkan sesuatu seperti yang dia cari.
Inilah beda MEMILIKI dan DIMILIKI. Seseorang yang sedari awal
melakukan sesuatu atas dasar cinta dan ketertarikan akan mewarisi rasa
MEMILIKI, sedangkan orang yang melakukan sesuatu dengan dorongan pamrih dan
mengharapkan timbal balik atas jasanya akan mewarisi rasa DIMILIKI. Mereka merasa
dimiliki oleh organisasi itu sehingga mereka perlu mendapatkan sesuatu—atau
lebih kasarnya—mereka merasa berhak untuk dihidupi oleh organisasi itu.
Dan pola pikir seperti ini tak berhenti pada seputar organisasi saja.
pola seperti ini juga terjadi pada hubungan manusia yang lainnya. Tentang manusia
yang berbangsa dan bernegara, manusia yang bragama, manusia yang bersuku,
bahkan pada sejoli yang sedang dimadu kasih.
Misalnya dalam sejoli, jika salah satu pasangannya hanya merasa
DIMILIKI maka dia akan abai terhadap komitmen hubungan itu. dia akan kecewa
jika pasangannya tak memberikan sesuatu seperti yang diharapkannya. Terlebih jika
egonya berkata dia telah memberikan segalanya yang lebih dari yang dilakukan
oleh pasangannya. Jika seseorang merasa MEMILIKI, maka dia tidak akan segan
untuk memelihara hubungannya tersebut dan juga pada pasangannya.
Itu juga terjadi kepala masyarakat kebanyakan. Ketika kita merasa
DIMILIKI oleh negara, maka kita akan terus menuntut negara untuk menghidupi kita.
Kita frustrasi dan berontak terhadap tatanan dan aturan negara yang menurut
kita merugikan kita dan tak mampu memberikan apa-apa pada kita. Sedang kita
sendiri enggan melakukan sesuatu untuk negara. Karena kita miskin rasa
MEMILIKI.
Begitu juga jika kita beragama karena merasa DIMILIKI. Kita merasa
agama patut mengayomi kita. Kita melakukan semua tuntunannya tak lebih hanya
karena haus ganjaran akhirat kelak. Ketika ditanya, “Bagaimana jika segala
perbuatan kalian itu tak akan pernah diganjar?” Alih-alih memikirkan jawabannya
secara rasional, kita lebih memilih menghindar dengan berteriak “Tuhan tak
mungkin berdusta!” Padalah sudah jelas bukan itu konteksnya.
Ini tentang rasa MEMILIKI. Tentang seberapa jauh kita mencintai
sesuatu dan rela berkorban untuknya. Semata bukan karena pamrih, tapi karena
kita memang ingin berkembang dan mengabdi bersamanya.
5 Komentar
Lantas, bagaimana cara kita memiliki jika kita dilahirkan di negara dengan agama yang mungkin bukan pilihan kita untuk memilikinya?
BalasHapusseperti halnya bagaimana cara kita menerima takdir yang sudah disuratkan pada kita.
Hapuskeluarga, gender, tanggal lahir, nama, itu bukan pilihan kita... tapi seperti dogma, kita harus menerimanya dengan mutlak. namun ada saja cara untuk menyangkalnya.
begitu juga kewarganegaraan dan agama, kita juga bisa mengubahnya, tapi tentu butuh proses khusus dan bisa dibilang tidak mudah--karena bukan tidak mungkin kemudian kita akan dianggap sebagai penghianat karena meninggalkan hal yang sudah terpatri sejak lahir itu.
namun, jika benar-benar ingin merasa memiliki seutuhnya, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah menerima. ikhlas, lantas mensyukuri apa yang sudah ditautkan pada kita.
Maksud saya bukan seperti itu. Lebih kepada bagaimana kita bisa memiliki jika kita sendiri tidak suka dengan pilihan yang dipilihkan pada kita dan ingin pindah darinya, sementara sesuatu yang dipilihkan untuk kita itu merasa memiliki kita dan kita dimilikinya. Apakah salah jika kita merasa tidak memiliki? Apakah lantas akan membuat kita miskin rasa memiliki? Apakah dengan demikian kita disebut sebagai orang yang tidak bersyukur? Bukankah pilihan untuk pindah juga ada.
Hapusseperti itu.
Hapusdihinggapi rasa tidak bersyukur itu pasti.
karena itu wujudnya mengikat dan tak bisa kita pilih saat dilahirkan.
namun kembali lagi, kita bisa mengubah pilihan itu, walau dengan cara yang sedikit sulit.
berarti kita nggak harus memiliki dikala kita tidak mau dimiliki, dong, ya... karena ada pilihan untuk hijrah, klo emang nggak sreg sama yang memiliki kita.. begitu, ya?
Hapus