SUDAH barang empat bulan aku tak pernah bertandang
ke surau kecil itu. Dulu, setiap azan berkumandang, aku selalu siap
melangkahkan kaki menuju ke surau mungil itu. Sebuah surau yang dibangun di
atas tanah wakaf oleh seorang hartawan di desa kami.
Awalnya, setelah sekian tahun tidak menginjak lantai
surau itu, aku sangat segan ketika datang untuk salat berjamaah di sana. Waktu
kecil, tentu saja aku aku sering bermain ke surau itu. Anak-anak muslim yang
masa kecilnya tak akrab dengan surau, pastilah masa kecilnya begitu
menyedihkan. Orang tua seperti apa yang tak mengakrabkan putra-putrinya pada
rumah Tuhan itu.
Saat mulai beranjak remaja, anak-anak akan mulai
enggan bertandang ke surau. Mereka mulai mengenal gengsi. Mereka mengenal cinta,
berpacaran, lalu kencan. Mereka juga mengenal yang namanya nongkrong, tebar
pesona, cuci mata. Di masa remaja, seorang anak akan mulai diperkenalkan dengan
dunia yang menyulitkan. Mereka mengenal tempat-tempat yang promosinya jauh
lebih layak dari surau. Ketika kau berada di surau, maka kamu akan menjadi
remaja kuper yang kampungan. Namun, ketika kamu mendatangi kafe-kafe, mall, dan
taman sepi atau pasar malam, maka kamu akan menjadi remaja gaul yang
metroseksual. Memang tak semuanya begitu, tapi saat itu pasti ada.
Aku termasuk sebagai remaja yang terseret animo itu.
Tumbuh bersama teman-teman sejawat, lalu mengenal mal, kafe, dan taman. Salah
satu alasan lucu ketika aku tak lagi datang ke surau itu adalah; aku tak lagi
bisa melihat gadis yang aku sukai.
Jujur saja, dulu, sewaktu kecil, saat bertandang ke
surau, aku sering menyempatkan bercuri-curi pandang di bagian wanita saat
hendak masuk maupun keluar dari surau itu. Namun seiring berjalannya waktu, aku
mencoba melupakannya dan berfokus pada pergaulanku yang baru. Aku tak ingin
berpandangan sempit dan terjebak dengan pergaulan yang hanya selingkup desa
ini.
Masa SMA, aku mulai mengenal lagi teman-teman yang
rajin beribadah. Terkadang mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Meski tiga
tahun sebelumnya aku jarang benar melakukan ibadah wajib ini, aku masih hafal
benar, dan tahu pelafalan niat saat hendak menjadi imam. Terlebih saat seorang
Guru menjelaskan bahwa pelafalan 'imaman' tak harus diucapkan saat berniat
menjadi imam, aku makin percaya diri.
Saat menjadi imam, aku merasa bertanggung jawab
besar. Aku tak ingin salat makmumku cacat karena ulahku. Aku merasa menghadap
pada Tuhan bersama-sama dengan teman-temanku itu. Seperti, kami bercengkrama
bersama-sama, merajuk, bercanda, dan bermanja pada Tuhan yang saat itu bersama
kami.
Semenjak itu, aku tak pernah keberatan saat
dipersilahkan untuk menjadi imam.
Saat itu, aku masih enggan untuk mendatangi surau
kecil itu. Pengaruh dari tiga tahun, membuatku merasa asing dengan surau yang
dulu akrab denganku. Bahkan, di saat surau ramai dengan acara syukuran, aku
tetap enggan mendatanginya. Aku punya pikiran buruk, kalau-kalau aku dipikir
akan datang di saat surau mengadakan syukuran saja. Jadilah aku akrab dengan
masjid besar.
Di titik itu, setelah lulus SMA, aku mulai mencari
makna hidup. Berbekal keingintahuanku yang mendalam tentang agamaku, aku mulai
melakukan pencarian lebih dalam. Terlebih ketika itu, aku mulai akrab dengan
isu-isu yang memperburuk citra agamaku.
Banyak sekali golongan-golongan yang mengaku pembela
agama namun justru merusak nama baiknya. Banyak sekali ustaz yang mengaku
cendekiawan agama, namun mencerca kepercayaan lainnya. Sesaat terpikir olehku;
"jika kamu tidak dilahirkan di dalam keluarga muslim, apa benar kamu akan
memeluk serta membela agama warisan orang tuamu ini?"
Aku mulai berpandangan adil. Terlepas dari banyaknya
sahabatku yang juga non-muslim, namun bergitu baik bersikap. Bahkan seorang
sahabat terbaikku adalah non-muslim. Namun, dia begitu sopan dan baik. Jika ada
yang mendiskriminasi lewat agama dan aku merasa dia salah, maka aku akan
memberi pengertian pada orang itu, sekalipun pendiskriminasi itu seorang
muslim. Muslim setahuku tidak pernah megajari kebencian dan penuh cinta kasih.
Itu yang selama ini diajarkan padaku. Jika ada yang berpendapat beda, maka dia
memahami dengan cara yang salah.
Aku pernah didebat oleh sesama muslim. Katanya,
"Rosulullah sendiri mengajarkan kita bertindak tegas! Dia bahkan berperang
demi mempertahankan agama kita! Kita harus mengikuti jalannya!"
Lantas aku berkata, "Apa kamu tak pernah
mendengar cerita tentang Rosulullah yang bersambang pada tetanganya, sementara
setiap subuh orang itu selalu meludah pada Rosul kita? Apa kamu tidak pernah
mendengarkan cerita tentang Rosulullah yang selalu menyuapi seorang nenek buta
nan renta yang sangat membenci Rosul dan agamanya? Keduanya adalah kaum Yahudi.
Rosul kita mengajarkan welas asih. Dan peperangan sangat dibenci, namun itu
adalah jalan terakhir saat ada orang yang mulai mengancam keutuhan kuil-mu.
Kuil yang aku maksud adalah raga kita. Karena di sana Tuhan juga
bersemayam."
Orang itu tetap pada pendiriannya. Aku menghindari
perdebatan demi memegang; lakum dinukum waliyadin. Dan aku tegaskan,
"Agama kita mungkin sama, namun iman kita jangan disamakan."
Setelah banyaknya pencarianku terhadap pertanyaan
yang timbul di kepalaku itu, akhirnya aku menemukan sebuah garis tunggal.
Ibaratnya, kita ini sedang berjalan menuju ke tempat yang sama, namun kita
menempuh jalan yang berbeda. Tujuan kita satu, namun cerita kita jelas berbeda.
Aku mendapati agama berjalan seperti itu. Jika kamu sudah memilih jalan, maka
berjalanlah sampai ke tujuan.
Aku mulai merasa harus kembali ke surau. Setidaknya,
apa yang aku dapatkan harus aku wariskan pada orang-orang sekelilingku. Aku
ingin merubah sesuatu.
Pertama kali aku menginjak tanah suci surau itu, aku
tak merasa enggan sedikitpun. Rumah Tuhan tentunya sangat menyambut erat
kedatangan kita. Aku merasa damai dan tak enggan berlama-lama di sana,
sebagaimana aku berlama-lama di masjid besar ketika dalam pencarianku.
Aku sering berlama-lama mulai dari maghrib sampai
selesai isya', hingga suatu hari seorang sepuh dari desaku mulai tertarik
padaku. Dia menghampiriku dan mulai berkenalan denganku lebih dekat. Dia mencerikatan
tentang masa mudanya, serta bagaimana usahanya selama ini untuk menjalani
hidup.
Dimulai dari masa mudanya menjadi guru, lalu ada tes
ketentaraan yang membawanya menjadi seorang prajurit. Saat ini dia adalah
seorang pensiunan, dan memiliki tiga orang anak. Anak-anaknya bisa dibilang
sukses dan membuatnya bangga. Salah satunya meneruskan jejaknya menjadi guru.
Di saat sulit, dia tetap berusaha dan terus percaya pada pertolongan Allah.
Dia menutup kisahnya dengan, "Jika ada berita
baik, maka sampaikanlah."
Perbincangan itu membuatku akrab dengannya.
Selang beberapa bulan, aku mulai menemukan kesulitan
serta cobaan hidup. Ya, kelancaran hidup memang hanya untuk orang-orang yang
kuat atas cobaan dari-Nya. Begitu pula, aku harus menyadari dengan terlambat
bahwa aku bukanlah termasuk bagian dari mereka yang kuat.
Aku uring-uringan saat mulai merasa tak dipercaya
oleh orang-orang yang aku cintai. Aku tak pernah memikirkan pendapat orang
lain, tapi aku sangat menghargai pendapat orang tuaku. Dan ketika mereka mulai
meragukanku, keyakinanku mulai goyah. Rezekiku mulai terhambat. Dimulai dengan
sulitnya aku mendapatkan pekerjaan.
Selama ini, aku tak pernah merasakan kesulitan
masalah rezeki. Mungkin ini adalah ujian untuk meluruskan kepercayaanku. Aku
diuji dengan sesuatu yang sebelumnya sangat kupercaya akan mudah kuperoleh. Aku
sangat mencintai Tuhan, tapi aku tak pernah berpikir bahwa Dia juga akan
menguji kesetiaanku seperti pacar-pacar pada umumnya.
Aku mulai malas mendatangi surau. Aku tak ingin bertemu
kekasihku dengan wajah kusut. Aku menjadi tertutup.
Selama itu, terkadang saat bertemu dengan sesepuh
desa yang akrab denganku itu, aku menjadi segan. Rautnya tampak kecewa. Dan aku
menjadi paranoid dengan sendirinya. Aku mulai berpandangan picik dengan orang.
Suatu ketika, aku bertemu dengan seseorang yang
merasa bahwa mendekatkan diri pada Tuhan itu tak perlu. Berpikir tentang dunia,
maka akhirat akan mengikutimu. Dia merasa tahu segala hal.
Dia merasa mengerti hakikat, namun tak tahu kegunaan
ilmunya. Dia merasa tahu segala hal tentang agama adalah sesuatu yang sia-sia
karena tak bisa membantu kehidupannya. Terlebih tentang ekonomi. Dia
berpendapat, "Jika kita terus menerus berdoa dan berzikir, apa akan ada
uang yang jatuh di hadapan kita?"
Aku ingat kisah tentang itu, tapi aku tak mengatakan
sepatah kata pun untuk menyangkal keraguannya. Sikapnya yang merasa tahu akan
segalanya tidak diimbangi dengan ketenangan batinnya. Dia lupa bahwa jalan
menuju kebenaran tidak hanya satu. Kepalaku serasa kosong saat berbicara
dengannya.
Aku menyadari bahwa kekotoran batinku ini menutup
segala jawaban yang selama ini aku pegang. Aku menyadari bahwa hidupku kembali
tak bertujuan. Aku lupa dengan tujuan hidup yang sebelumnya kutemukan dalam
pencarian panjang itu.
Pikiran picikku akan pendapat orang itu pun
membuatku hina pada diri sendiri. Tak seharusnya aku membenci pandangan seperti
itu. Jika mampu, seharusnya aku meluruskan, namun jika tak mampu, sebiknya aku
diam. Tapi, aku justru menyimpan bara penyakit di dalam batinku sendiri. Aku
berusaha kembali menyelami apa yang aku lakukan belakangan ini. Aku sudah
terlalu jauh dari jalan.
Saat langit mulai senja, aku kembai melihat warna
keemasan yang dulu selalu aku rindukan. Suara azan riuh berkumandang. Aku merasa
perlu kembali melakukan pencarianku.
Dalam perenunganku itu, aku teringat kembali akan
keinginanku untuk menjadi imam dan guru ngaji di surau kecil itu. Aku ingat
ketika bercengkrama bersama kekasihku. Aku ingat ketika begitu mudahnya aku
menjawab segala pertanyaan yang menurutku melenceng. Aku ingat akan kedamaian
yang dulu akrab denganku. Aku ingat, ketika aku tak merasa takut akan apapun
karena aku selalu bersama kekasihku. Aku rindu dengan semua rasa itu.
Mungkin sebaiknya aku kembali ke surau. Mungkin saja
aku akan diperintahkan untuk mengumandangkan azan. Ya, sebelum aku benar-benar
siap untuk menjadi imam.
—oOo—
0 Komentar