Bandung Bondowoso menatap nanar puing-puing bala tentara kerajaan Baka
yang telah dikalahkannya. Semua kekacauan ini tak perlu terjadi seandainya
kerajaan Baka tak rakus kekuasaan dan menyerang kerajaan Pengging.
Prabu Damar Maya menghampiri putranya dan menepuk bahunya. Dia
tersenyum pilu. Kerajaannya menang, tapi kehancuran yang terjadi juga tidak
kecil. Peperangan selalu menyengsarakan rakyat kecil. Selama penyerangan
kerajaan Baka, rakyat kerajaan Pengging menderita kelaparan. Penyiksaan dan
pembunuhan terjadi di mana-mana.
Kerajaan Baka adalah kerajaan para raksasa. Raja mereka, Prabu Baka
adalah pemakan manusia. Dia merasa iri melihat kejayaan kerajaan Pengging. Demi
menguasainya, maka meletuslah peperangan ini. Prabu Damar Maya yang sudah sepuh
cukup dibuat kerepotan oleh serangan kerajaan Baka. Saat itu putranya, Bandung
Bondowoso, sedang bertapa brata untuk memperkuat ilmu kanuragannya. Dia tak
tahu mengenai penyerangan itu sampai dilihatnya awan gelap yang membumbung di utara.
Bandung Bondowoso merasakan firasat buruk. Dia segera kembali ke
Pengging dan meninggalkan gua tapa bratanya. Dipacu kudanya agar berlari
secepat yang dia bisa. Hati Bandung Bondowoso kian hancur ketika dia memasuki
perbatasan kerajaannya dan mendapati desanya berantakan. Rupanya firasatnya
tepat. Dilihatnya para raksasa merusak rumah-rumah penduduk. Mereka membunuh
tanpa ampun. Prajurit kerajaan juga dibantai habis. Kemampuan mereka tak mampu
mengimbangi para raksasa itu.
Bandung Bondowoso geram. Dia langsung melompat dari kudanya dan
menerjang salah satu raksasa yang tengah merobek tubuh salah satu prajurit
Pengging. Ditusuknya jantung raksasa itu dengan kerisnya dalam-dalam. Raksasa
itu mengerang kesakitan dan mati seketika. Darahnya memuncrat di tubuh Bandung
Bondowoso. Kawanan raksasa itu terkejut melihat salah satu temannya dibunuh
dengan mudah oleh seorang anak manusia. Mereka mengamuk dan menyerang Bandung
Bondowoso beramai-ramai. Pijakan kaki para raksasa itu mengguncangkan bumi. Penduduk
yang masih selamat meringkuk ketakutan.
Begitu para raksasa itu mendekat, Bandung Bondowoso langsung
mengendakkan kakinya. Para raksasa itu terpental ke atas. Mereka melayang.
Bandung Bondowoso merapalkan mantra. Dia melemparkan kerisnya ke langit.
Kerisnya terbelah menjadi puluhan dan jatuh menghunjam jantung para raksasa
itu. Desa perbatasan itu langsung diguyur hujan darah.
Untuk pertama kalinya para raksasa itu kalah.
Kabar kepulangan Bandung Bondowoso langsung menyebar. Prabu Damar Maya
merasa lega mendengar kabar kepulangan putranya itu. Agaknya ini adalah
pertanda baik bagi Pengging. Dia yakin putranya mampu menghapus kesengsaraan
yang tengah berselimut di Pengging.
Sesampainya di keraton, Bandung Bondowoso langsung menghaturkan sujut
hormat pada ayahandanya. Dia menangis menyesali kelalaiannya dalam menjaga
kerajaannya. Prabu Damar Maya menenangkan putranya dan menasihatinya bahwa tak
sepantasnya seorang kesatria menangis. Kelak Bandung Bondowoso juga yang akan
menggantikan kedudukannya sebagai raja.
Rupanya kabar kembalinya Bandung Bondowoso itu juga sampai pada Prabu
Baka, jara kerajaan Baka. Dia juga mendapat kabar tentang pembantaian
pasukannya di perbatasan. Prabu Baka naik pitam. Dia memutuskan untuk menyerbu
kerajaan Pengging secara besar-besaran. Dia menginginkan kemenangan. Kali ini
dia harus mendapatkannya.
*
Ribuan pasukan raksasa membentuk formasi perang di depan perbatasan Pengging
dan Baka. Para raksasa kumal dengan zirah baja dan senjata berat siap
melumatkan kerajaan manusia itu. Napas mereka memburu. Tatapannya tajam penuh
nafsu membunuh. Derap langkah mereka menggetarkan bumi dan meniupkan debu
tebal.
Kemunculan mereka tentu menggentarkan para pasukan Pengging. Namun
kehadiran Bandung Bondowoso sebagai pemimpin mereka cukup menguatkan tekad
mereka. Bandung Bondowoso mampu meyakinkan pasukannya dan membakar semangat
juang mereka. Bandung Bondowoso meyakinkan bahwa tak ada keangkaramurkaan yang
akan menang.
“Sang Hyang Widi pasti akan melindungi jiwa-jiwa teguh yang siap
membela tanahnya dan mengorbankan darahnya!”
Para pasukan Pengging itu pun bersorak-sorai menantang barisan para
raksasa yang berdiri rapat di hadapan mereka. Mendekat bagai maut yang
menjemput. Mereka tak peduli lagi jika darah harus tertumpah. Mereka tak peduli
jika hari ini adalah hari terakhir mereka menatap rembulan. Kegentaran masih
bersemayam, namun mereka akan terus berjuang.
Malam kian pekat. Bandung Bondowoso yang berdiri paling depan
mengacungkan kerisnya yang terhunus. Dia merapalkan mantra dan menjejakkan
kakinya tiga kali di atas tanah. Kemelut kabut hitam berputar di ujung mata
keris Bandung Bondowoso. Kabut hitam itu melebar dan iblis-iblis serta jin
berkumpul mengitari Bandung Bondowoso.
Pasukan Bandung Bondowoso ketakutan melihat makhluk-makhluk gaib itu
beredar di sekitarnya. Wujudnya samar dan nyarit tak sempurnya. Ada yang tak
memiliki kepala dan kaki dengan tangan yang dirantai, ada yang bermuka
tengkorak, ada yang berwajah hancur. Semuanya melayang mengitari Bandung
Bondowoso.
Para raksasa sendiri tak tahu kabut apa yang tengah mengelilingi
Bandung Bondowoso. Mereka hanya sadar bahwa pemuda itu tengah mengeluarkan
kesaktiannya. Prabu Baka langsung memberi perintah untuk menyerang pasukan
Pengging itu sebelum Bandung Bondowoso menyelesaikan mantranya.
Mereka berderap sembari meraungkan kengerian untuk mengintimidasi para
manusia itu. Tanah bergetar. Pasukan Pengging melihat para raksasa itu mulai
berlari menerjang mereka. Bandung Bondowoso tak mau berlama-lama.
Diperintahkannya para makhluk gaib itu untuk melumat ribuan raksasa yang tengah
berlarian ke arahnya.
Perang meledak. Para raksasa bergelimpangan tanpa daya. Pasukan gaib
itu membantainya tanpa ampun. Kematiannya bermacam-macam. Beberapa raksasa
langsung tumbang tanpa sebab. Raksasa yang lainnya terbelah dengan darah
memuncrat. Hujan darah di padang perbatasan itu tak terelakkan. Prajurit
Pengging langsung turut bergabung dengan para pasukan gaib untuk membantai
sisa-sisa raksasa yang lolos dari kepungan mereka. Dibantu oleh kekuatan yang
mahadahsyat, nyali mereka langsung membaja.
Melihat kekalahan di depan mata, patih kerajaan Baka menyaranpan pada
Prabu Baka untuk mundur dan bersembunyi di keraton. Prabu Baka geram menerima
kekalahannya. Namun musuhnya saat ini sungguh di luar kemampuan para
kesatrianya. Demi menghibur rajanya, sang patih berikrar akan tetap di medan
pertempuran dan tidak akan kembali sebelum membawa kemenangan bagi kerajaan
Baka.
Prabu Baka mengalah. Dia mempercayakan peperangan itu para patihnya.
Dia lantas kembali ke kerajaannya dengan dikawal empat kesatria pilihan yang
hanya bertugas menjaga keselamatan raja. Sang patih berpesan agar Prabu Baka
tak sekalipun melihat ke belakang demi ketenangan pikirannya. Prabu Baka harus
terus memacu kudanya secepat mungkin. Sang Patih khawatir Prabu Baka akan
berniat kembali jika dia melihat suasana perang. Karena sangat percaya pada
patihnya, Prabu Baka pun terus memacu kudanya tanpa menoleh ke belakang.
Saat itu, pusaran angin puyuh berputar ganas. Merenggut
senjata-senjata para prajurit dan membabat habis pasukan raksasa.
Senjata-senjata tajam itu mencincang tubuh para raksasa hingga
berkeping-keping. Sang patih sendiri mati di tangan Bandung Bondowoso dengan
kepala yang dipenggal.
Kemenangan menjadi milik kerajaan Pengging.
“Seharusnya Pengging sudah jaya jika tak ada perang ini.” Bandung
Bondowoso menatap nanar kehancuran di sekelilingnya. Pasukan-pasukannya yang
terluka. Darah yang tertimpa ruah.
“Akan selalu ada angkara murka selama para raksasa itu hidup,” ujar
Prabu Damar Maya. “Prabu Baka pasti akan kembali untuk menuntut balas atas
kekalahannya. Putraku, sebelum para raksasa itu kembali bangkit, aku memintamu
untuk membinasakan mereka. Jangan kembali sebelum membawa kepala Prabu Baka.
Aku yakin kamu mampu melakukannya.”
Bandung Bondowoso memberikan hormat pada ayahnya. “Sesuai titahmu.
Putramu ini akan berangkat sekarang juga.”
Saat itu juga, Bandung Bondowoso menyiapkan pasukan-pasukan terpilih
untuk menyerbu kerajaan Baka. Dipilihnya pasukan yang masih tangguh. Mereka
segera berangkat ke kerajaan Baka untuk mengejar Prabu Baka. Melewati hutan
perbatasan, mulai terlihat beberapa pasukan penjaga dari kerajaan Baka. Bandung
Bondowoso menghabisi mereka semua.
Sesampainya di Baka, Bandung Bondowoso dan pasukannya mengobrak-abrik
istana. Prabu Baka bersembunyi ketakutan. Bandung Bondowoso menyuruhnya keluar
atau dia akan menghancurkan kerajaan Baka hingga menjadi abu.
Mendengar ancaman itu, Prabu Baka memutuskan untuk menghadapi Bandung
Bondowoso. Dia tak ingin rakyatnya turut menjadi korban atas keserakahannya.
Pengawal Prabu Baka melarangnya untuk keluar menemui Bandung Bondowoso karena
keadaan sedang genting. Begitu pun putrinya yang ketakutan dengan amuk pemuda
itu. Dia melarang Prabu Baka untuk menemuinya.
Demi menjaga tanggung jawabnya, Prabu Baka tetap kukuh menghadapi
Bandung Bondowoso. Dia merasa mampu menghadapi manusia itu. Keluarlah dia
sebagai seorang raksasa tangguh. Prabu Baka menantang Bandung Bondowoso dengan
kepercayaannya yang angkuh. Diteriakinya pangeran dari Pengging itu dengan
sebutan binatang-binatang terendah.
Amarah berkecamuk dalam dada Bandung Bondowoso. Segera dia menerjang
Prabu Baka dengan keris yang terhunus. Mengincar jantungnya di dadanya yang
lebar. Prabu Baka mencengkeram Bandung Bondowoso sebelum keris itu menyentuh
tubuhnya. Manusia itu, rupanya tak lebih besar dari betisnya. Ingin rasanya
segera mengoyak tubuhnya yang kering dan padat. Tubuh Prabu Baka membesar.
Bandung Bondowoso terus berontak agar bisa lepas dari cengkeraman
raksasa itu. Dia merapal mantra yang didapatnya ketika berdiam di gua. Langit
menggelegar. Mendung berkecamuk. Sesosok iblis berwajah kematian muncul dari
mata kerisnya. Prabu Baka seperti kehilangan hari esoknya. Iblis itu merasuk ke
dalam dada Prabu Baka dan meremas jantungnya.
Seketika Prabu Baka membeku. Tubuhnya membiru. Bandong Bondowoso
memotong tangan Prabu Baka agar dirinya bisa terlepas dari cengkeramannya yang
kaku. Putri Prabu Baka berlari menghampiri jasad ayahandanya yang kaku. Dia
menangis sejadi-jadinya. Bandung Bondowoso terpatung melihat kepedihan di
hadapannya. Gadis jelita itu meratapkan segala dukanya.
“Manusia macam apa kau yang tidak punya hati pada musuhmu yang sudah
tidak berdaya?! Apa kau tak pernah diajari untuk mengampuni musuhmu yang sudah
menyerah?!”
“Maafkan Saya, Putri. Prabu Baka telah menyerang dan merusak kerajaan
saya. Rakyat saya menderita. Mereka melihat kematian sanak saudara mereka di
depan mata. Maaf, bila karma Prabu Baka jatuh padamu.”
“Karma?! Karma kau bilang?! Ini adalah wujud ketidak adilan seorang
pangeran sepertimu! Kelak kau akan tahu rasanya kehilangan orang yang kau
cintai karena ulahmu sendiri!”
Petir bergemuruh.
Bandung Bondowoso menyesali perbuatannya. Bukan karena dia membunuh
raksasa itu, tapi karena telah mengukir pedih di hati wanita itu.
“Putri, jika diperkenankan, izinkan saya mempersuntingmu untuk
menghapus segala dukamu ini. Saya berjanji akan menanam benih kebahagiaan dalam
setiap hirupan napasmu.”
“Kau kira aku sudi menikah dengan lelaki yang membunuh ayahku
sendiri?!”
Bandung Bondowoso terdiam. Wanita itu. Wanita yang begitu lembut
perawakannya. Tak sepantasnya memeluk duka dan berteriak penuh amarah. Bandung
Bondowoso mengutuki dirinya jika tak mampu mengembalikan senyum manis di bibir
wanita itu. Wanita yang cukup jelita untuk disebut raksasa. Bahkan sebagai
manusia, dia bagai jelmaan dewi yang turun ke danau hanya demi mencicipi
kelembutan air di tubuhnya.
“Putri Jongrang... Sudahlah, Putri... Rama sudah pergi...” Seorang
wanita paruh baya datang menghampiri wanita itu dan mendekapnya.
“Bagaimana aku bisa rela, Nyai Sumbi? Sedangkan Ayahandaku pergi
dengan mengenaskan seperti ini?!” Putri Jongrang menangis tersedu-sedu.
“Tabahlah, Putri. Jangan membuat arwah Rama tak tenang.”
Bandung Bondowoso mendekati kedua perempuan yang masih dirundung duka
itu.
“Nyai, bila diperkenankan, izinkan saya mempersunting Putri Jongrang
untuk menebus dosa saya.”
“Maaf, Raden. Bukan saya menolak. Tapi saya bukanlah pemilik hak untuk
menjawab tanya Raden.”
Putri Jongrang diam sejenak. Dia meredakan tangisnya dan mengatur
napasnya. Dia berdiri dengan angunnya. “Aku bersedia menjadi istrimu, asalkan
kau mampu memenuhi tiga permintaanku.”
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk menunjukkan keseriusanku
padamu.”
Hari itu juga Bandung Bondowoso memenuhi permintaan pertama Putri
Jongrang. Dia menyuruh pasukannya untuk kembali ke Pengging untuk menyampaikan
niatannya mempersunting Putri kerajaan Baka. Sementara pasukannya kembali,
Bandung Bondowoso menerima permintaan pertama Putri Jongrang. Putri Baka itu
meminta Bandung Bondowoso untuk memakamkan jasad Ayahandanya secara layak dan
membangun prasasti untuk menghormati perjuangannya. Bandung Bondowoso hanya
diberi waktu sampai pagi. Sang Putri Baka sengaja memberi jeda waktu yang
singkat agar hal itu menjadi mustahil dilakukan oleh Bandung Bondowoso. Dendam
di dalam hatinya juga belum mengering. Dia berniat membuat Bandung Bondowoso
mati kelelahan. Tapi permintaan pertama ini agaknya terlalu mudah bagi lelaki
itu.
“Kuharap kau masih belum kelelahan untuk memenuhi permintaan ke dua
dariku.”
“Ketulusan dan kesungguhanku tak akan membiarkan hatiku lelah, Putri.”
Matahari mulai berpijar. Putri Jongrang meminta dibuatkan sumur untuk
bersuci dari segala dosa karena dia akan menikah dengan musuh dan pembunuh
ayahandanya. Dia meminta sumber yang paling jernih di mayapada. Bandung
Bondowoso langsung membuatnya. Dia mencari sumber air terjernih dan mengeduknya
hingga hampir menyentuh inti bumi.
Melihat kesempatan itu, Putri Jongrang yang masih didera sakit hati,
langsung melemparkan bebatuan ke dalam sumur itu untuk mengubur Bandung
Bondowoso.
Melihat batu-batu raksasa jatuh dari atas, Bandung Bondowoso
menghindarnya dengan gesit. Dia menggunakan kesaktiannya untuk menghancurkan bebatuan
itu. Dia meloncat naik untuk kembali ke permukaan dan melihat apa yang terjadi.
Sampai di permukaan, dia tampak kotor dan kelelahan
“Kenapa dengan sumurmu, wahai pangeran yang tangguh?” ledek Putri
Jongrang. Dia tahu bahwa Bandung Bondowoso telah gagal mengeduk sumber air itu.
“Apa yang sudah terjadi, Putri?” tanya Bandung Bondowoso agak keras.
“Aku tak tahu. Aku hanya menunggumu di sini.”
Bandung Bondowoso tak bisa percaya begitu saja. Namun dia tak ingin
menyerah untuk menaklukkan Putri Jongrang.
“Sumurmu kering, Pangeran,” ujar Putri Jongrang.
Bandung Bondowoso melirik tajam pada Putri Baka. Dia menghentakkan
kakinya tiga kali. Sumber jernik menyembur dari timbunan batu yang membendung
sumurnya. Putri Baka terdiam. Tak terasa hari menjadi gelap. Kegemingan mereka
seperti menyimpan dendam.
“Masih ada satu syarat lagi,” ujar Jongrang.
“Aku siap memenuhi permintaanmu.”
“Buatkan aku seribu candi. Lengkap dengan mahkotanya. Kau harus
menyiapkannya sebelum fajar menjelang.”
Kali ini Bandung Bondowoso merasa benar-benar telah dimainkan oleh
Putri Baka. “Apa tujuanmu meminta hal yang mustahil untuk kulakukan itu, wahai
Putri Jongrang?”
Putri Jongrang tersenyum menyimpan kemenangan. “Kau bisa mengurungkan
niatmu dan pulang sebagai pangeran yang memalukan!”
Harga diri Bandong Bondowoso terluka. Dia menyanggupi permintaan itu.
Putri Baka pamit pulang sembari menunggu di kedaton. Bandung Bondowoso putar
otak.
Permintaan Putri Baka sudah tak masuk akal. Bandung Bondowoso tak mau
dibodohi oleh wanita itu. Meski jasadnya cantik, tapi hatinya dipenuhi oleh
dendam. Dia ingin menunjukkan kedigdayaannya pada penerus Prabu Baka.
Diundangnya seluruh pasukan gaibnya. Mendung bergejolak. Kilat
menyambar-nyambar. Langit kerlap-kerlip.
Jin, setan, iblis, semua makhluk baka itu berkumpul dan berserakan
membangun seribu candi untuk tuannya. Ditumpuknya bebatuan yang langsung
tersusun sebagai candi yang sempurna. Bandung Bondowoso berteriak-teriak menyuruh
pasukan gaibnya itu untuk menyelesaikannya lebih cepat. Kerisnya menjelma
cemeti. Diledakkannya ke awang-awang guna meledakkan gelegar ancaman bagi iblis
yang lamban bekerja.
Putri Baka cemas mendengar kabar itu. Dia segera mendatangi Nyai Sumbi
dan menanyakan jalan keluar untuk masalah ini. Dia tak rela dinikahi oleh
pembunuh ayahnya.
“Jin itu pasti pergi ketika hari menjelma pagi. Kita suruh penduduk
desa untuk menumbuk lesung. Kita bangunkan ayam jago agar mereka berkokok. Kita
minta begawan untuk membacakan mantra agar matahari bersinar lebih awal.”
Putri Jongrang setuju dengan usul Nyai Sumbi. Dia langsung melakukan
semuanya. Penduduk desa dibangunkan dan diminta untuk melakukan aktifitas
paginya. Para begawan disuruh untuk mempersiapkan upacara khusus guna menyambut
matahari.
Malam itu kerajaan Baka ramai seperti pagi. Ayam Jago terbangun dan berkokok.
Fajar datang lebih awal. Bandung
Bondowoso heran. Tak seharusnya pagi datang. Dia menyambarkan cemetinya agar
pasukannya bergerak lebih cepat. Mentari naik semakin cepat.
“Ini tak masuk akal!” gumamnya penuh prasangka. Dia mendengar keriuhan
dari desa. Amarahnya meluap, padahal sebentar lagi seribu candi itu akan
selesai.
Para jin, setan, dan iblis itu menjerit kesakitan. Mereka melayang
panik. Mondar-mandir dan menubuk candi-candi yang telah rapi mereka bangun.
Kurang satu candi lagi. Candi utama. Candi termegah. Iblis tertua menghampiri
Bandung Bondowoso dan mengatakan ketidaksanggupannya.
“Mohon ampun, Tuan. Kami sudah melakukan apa yang kami bisa. Tapi
semua ini benar benar di luar kemampuan kami.”
“Tinggallah sesaat lagi! Kalian sudah hampir selesai!”
“Mohon ampun, Tuan. Kami benar-benar harus pergi.”
Para makhluk gaib itu lenyap. Mereka meninggalkan kabut yang pekat.
Bandung Bondowoso ditinggal dalam kesendirian. Dia menggeram kesal sendiri.
Putri Jongrang datang dengan langkah angkuhnya. Senyum kemenangan
tergores di bibirnya yang tipis. Dia mendatangi Bandung Bondowoso sembari
didampingi oleh Nyai Sumbi.
“Kamu gagal, Pangeran. Sekarang kamu bisa pulang membawa rasa malumu.
Kamu mungkin bisa membunuh ayahku, tapi kamu tak akan pernah bisa menundukkanku.”
“Hatimu benar-benar beku, Putri! Parasmu cantik dan memabukkan, tapi
hatimu seburuk dan sebusuk para raksasa! Dengan licik kau telah
mempermainkanku!”
“Terima kegagalanmu, Pangeran. Kulihat, candimu ini masih belum genap
seribu.”
Bandung Bondowoso geram. “Maka biarkan kecantikanmu yang akan
menggenapi seribu candi ini!”
Petir Menyambar. Langit kembali gelap. Awan hitam bergulung. Putri
Jongrang ketakutan. Dia terperangah sampai tak sempat melarikan diri. Perlahan
kakinya kaku. Dia tak bisa lagi kabur. Bandung Bondowoso mengutuknya menjadi
candi. Menjadi pusat keindahan utaman dalam tatanan rapi taman itu.
Nyai Sumbi berusaha menolongnya. Menariknya dari gemerlap cahaya yang
memerangkapnya. Namun usahanya sia-sia. Putri Jongrang sudah tak bisa beranjak
dari tempatnya. Tanah yang dipijaknya tumbuh dan membentuk kaki candi. Nyai
Sumbi terpental. Putri Jongrang terkurung oleh bebatuan yang menjelma candi.
Putri cantik itu telah membatu. Menjadi permaisuri bagi seribu candi itu.
Nanyi Sumbi menangisi kepergian Putri Jongrang. Dia tak menyadari,
ketika menggenggam tangan Putri Jongrang, kecantikan gadis itu berpindah
padanya. Dia kembali muda. Wajahnya jelita. Namun rupanya tak hanya itu yang tersalur
padanya. Perasaan kagum Bandung Bondowoso juga bepindah padanya. Pangeran dari
Pengging itu pun jatuh hati padanya. Dia meminang Nyai Sumbi dengan perasaan
buta yang menggebu-gebu. Tak ingat lagi bahwa itu hanya sekadar sihir yang
tersisa dari Putri Jongrang. Nyai Sumbi tak punya alasan untuk menolak. Bandung
Bondowoso pun memboyong nyai Sumbi ke kerajaan Pengging guna mengadakan upacara
pernikahan.
Prabu Damar Maya menyambut kedatangan putranya dengan suka cita. Namun
saat melihat calon istri putranya itu, hatinya remuk redam. Dia terkejut tak
percaya. Wanita jelita yang dibawanya itu, seketika Prabu Damar Maya seperti
tersambar petir. Dia limbung. Ada potongan kenangan yang kembali padanya.
Kejelitaan Nyai Sumbi seperti melemparnya pada keping masa lalu yang sudah
hampir dilupakannya.
“Sumbi, Istriku...” gumamnya.
Tentu saja hal itu membuat Bandung Bondowoso tercengang. “Apa-apaan
ini, Ayahanda? Apa yang tidak kuketahui di sini?!”
Tak hanya Prabu Damar Maya, ingatan Nyai Sumbi pun kembali. Dia
menangis sesenggukkan. Dia juga ingat tentang apa yang baru saja dilaluinya.
“Dia ini ibumu, Nak...”
Hancur sudah hati Bandung Bondowoso mendengar hal itu.
“Ini mustahil! Bagaimana Ibuku berada di antara para raksasa itu?!
Bagaimana pula aku jatuh cinta pada ibuku sendiri?!” Sejujurnya Bandung
Bondowoso tak sadar bahwa dia sudah terpengaruh oleh sihir peninggalan Putri
Jongrang.
“Dulu, di malam kelahiranmu, kerajaan kita diserang oleh Prabu Baka. Para
Raksasa itu memporak-porandakan semuanya. Aku tak bisa melindungi kalian semua.
Waktu itu aku hanya mampu menyelamatkanmu. Rupanya Prabu Baka tertarik dengan
kecantikan ibumu. Dia menculiknya dan menjadikan ibumu sebagai budaknya. Aku
tak bisa menerima itu dan pergi menyerang kerajaan Baka untuk merebut kembali
ibumu. Namun Prabu Baka mengancam akan membunuh Ibumu jika aku terus menyerang
kerajaannya. Saat itu dia menggunakan sihir untuk menutup semua kenanganku tentang
ibumu. Dia juga menyihir ibumu agar melupakanku dan tunduk pada semua
perintahnya. Sesungguhnya, itu adalah perseteruan terakhir kerajaan ini dengan
kerajaan para Raksasa itu, sebelum akhirnya mereka kembali menyerang tak lama
ini.”
“Tak mungkin! Ini mustahil! Bagaimana mungkin aku tak tahu hal semacam
ini! Tak mungkin semua orang buta tentang cerita ini!” Bandung Bondowoso geram.
Dia mengacak-acak rambutnya.
“Dengarkan nasihan Ayahmu, Nak...” ujar Nyai Sumbi. “Putri Jongrang,
gadis yang kau suka itu, dia adalah adikmu. Dia adalah anak dari Prabu Baka dan
ibumu.” Nyai Sumbi menangis tersedu-sedu. “Seharusnya kau sudah tahu mengapa
Jongrang berbeda dari raksasa lainnya.”
“Omong kosong macam apa ini!” Bandung Bondowoso menjerit
sekeras-kerasnya guna melepaskan kekesalannya.Dia bersumpah akan tetap menikahi
Nyai Sumbi atau akan menenggelamkan kerajaan ini selamanya. Dia menuduh ayahnya
hanya tergoda kecantikan istrinya. Dia juga menuduh bahwa Nyai Sumbi tak
berkenan padanya karena tergoda dengan gemerlap kekuasaan ayahandanya.
“Sadarlah, Anakku. Ini semua kesalahan. Seharusnya kau berbahagia
karena keluarga kita kembali utuh.”
Bandung Bondowoso tak peduli. Dia menghunus kerisnya dan membunuh
Prabu Damar Maya. Langit menggelegar. Para pasukan gaib diundangnya untuk
menenggelamkan kerajaan Pengging. Nyai Sumbi dibawa kabur oleh Bandung
Bondowoso untuk membina keluarga bersama di sebuah kota kecil yang kelak akan
dibesarkannya.
Dia mempersiapkan perahu untuk pergi dari tanah terkutuk itu. Nyai Sumbi
menangis dan meraung-raung berharap kesadaran putranya yang kini telah
dibutakan hasrat. Dia menolak untuk diajak menyeberangi sungai. Bandung
Bondowoso geram. Ditendangna perahu itu hingga terbalik dan menjadi gunung.
Nyai Sumbi melihat firasat tak baik dari perbuatan putranya. Dia pun menyerah
dan mau dipersunting oleh Bandung Bondowoso.
“Jika kau benar-benar mencintaiku, maka kau pasti rela mengejar
wujudku yang semu ketika kutinggalkan jasadku yang fana.”
Bandung Bondowoso tak memahami benar ucapan Nyai Sumbi. “Akan
kurengkuh dirimu ke mana pun engkau pergi, Permaisuriku!”
Tapi Dia tak menyangka bahwa Nyai Sumbi berniat menenggelamkan diri ke
dalam dungai itu. Bandung Bondowoso terlambat menyadarinya dan tak mampu
menghentikannya. Nyai Sumbi larut menjadi bayang-bayang dan menjelma angin.
Suaranya merdu menggelitik bunga-bunga yang baru mekar. Bandung Bondowoso tak
bisa menerima nasibnya. Dia berlari ke hutan dan menghilang dalam semak yang
gelap. Yang tertinggal hanya jerit suaranya.
Tanah itu tenggelam bersama kisah kerajaan Pengging.
—oOo—
2 Komentar
Jadi, ini cerita Roro Jonggrang dan Tangkuban Perahu digabung --"
BalasHapussebenernya pengen bikin adegan kolosal macem Lord of The Ring sih... XD
Hapus