Pagi ini aku ingat lagi tentang perkataan temanku yang terasa
sangat kontras dengan harapannya sendiri yang dulu juga pernah
diutarakan padaku. Dia bilang bahwa hidup tanpa memiliki musuh itu
tidak seru. Sedang dulu dia pernah merengak-rengek padaku tentang
betapa kasarnya sifat manusia serta kebencian-kebencian yang ada. Dia
bertanya mengapa tiada kedamaian di dunia. Saat itu aku hanya diam
saja.
Jika sekarang aku pikir lagi, aku malah bingung sendiri dengan
sifat manusia. Temanku pernah mengeluh dia mengerang-erang tentang
banyaknya cobaan di dunia, dia bertanya kapannya ketenangan dan
kedamaian datang menyelimuti hatinya. Dia meraung-raung tentang
bagaimana dunia ini bersikap tak adil dengannya. Kemarin dia bilang
padaku, “Seperti inilah hidup. Hidup yang kosong itu bukan hidup!
Masa’ hidup tanpa pengalaman? Kita di dunia cuma sekali saja.”
Aku hanya diam saja saat mendengar ucapanya itu.
Aku akui, aku bukan seorang cendekiawan, tipe intelek dan selalu
berusaha tahu tentang segala hal. Mungkin aku justru lebih ke sosok
yang suka pasif dan mundur dari perdebatan sengit yang biasanya tak
kunjung ada titik temu. Menurutku, percuma saja beradu argument jika
nantinya kita harus memutar balik omongan kita demi mempertahankan
harga diri agar kita tidak dianggap bodoh atau lemah. Yah, bisa juga
tipe sepertiku disebut oleh mereka sebagai tipe orang bodoh yang
tertindas. Tapi itu hanya perkiraanku saja.
Kadang aku merasa lucu. Getir sendiri dengan rasaku saat aku dalam
situasi ini. Secara tidak langsung, aku sadar telah menertawakan
pikiran-pikiran lucu yang serupa dengan perkataan temanku itu. Jika
aku pilah-pilah lagi, tentunya aku juga sering bersifat seperti itu.
Ya, sering sekali, aku kan juga manusia. Dan kalau dilihat dari sudut
pandang luar, apa yang kulakukan saat ini pasti sungguh sangat
terlihat lucu. Memikirkan pendapat orang lain yang sangat kontras
dengan pendapatnya sendiri di masa lalu, lalu aku menertawakannya.
“Jadi ini hidup?” pikirku tiba-tiba.
Kalau diingat-ingat lagi, aku menjadi sosok yang pasif dan
menghindari perdebatan bukan dari dulu. Dulu aku juga suka ikut
campur dalam sebuah perdebatan sengit, terlebih saat aku merasa para
orang yang sedang berdebat itu memiliki pemahaman yang lucu dan salah
kaprah tentang hal yang didebatkannya. Mereka seakan mendebatkan
sesuatu yang belum mereka katahui. Di saat itu, aku yang merasa
memiliki pengetahuan lebih dan lurus langsung terjun dalam arena
debat mereka dan membawa bendera pribadiku. Aku membodohkan pendapat
mereka semua. Sontak saja pertempuran opini-opini pun terjadi. Dan
bagiku yang paling lucu, saat aku mampu menunjukkan bukti sedang
mereka hanya mampu membuang ludah. Menarik. Tapi itu dulu.
Jika sekarang ditanya, apa hal yang menarik bagiku, mungkin aku
enggan menjawab, karena dulu aku sering menyebutkan hal-hal yang
kulakukan dan kugemari saja. Sontak temanku membandingkan dengan
ketertarikannya, “Ah, kurang seru!” begitu tanggapannya. Lantas
dia bercerita panjang lebar tentang pengalaman dan ketertarikannya.
Kalau dulu, tentunya aku sudah mendebat dan melebih-lebihkan
ketertarikanku. Apa yang lebih menarik dari kegemaran diri sendiri?
Adu argumen tak dapat dihindari sampai kedua belah pihak lelah
mengoceh. Dan tak ada jawaban pasti.
Kalau diingat, aku jadi ingin tertawa sendiri. Tapi yang namanya
pendewasaan tentu ada prosesnya. Ngomong tentang pendewasaan, sampai
sekarang pun aku belum tahu bagaimana rupa dewasa itu. Apakah cukup
punya umur tua saja bisa disebut dewasa? Aku rasa tidak. Tapi aku
juga tidak berhak menghakimi bahwa orang-orang yang sudah berusia
senja itu masih belum dewasa. Tahu apa aku?
Menyisihkan waktu sejenak untuk merenung seperti ini kadang memang
menarik. Aku bisa memilah lagi tingkah lakuku. Entah benar atau
salah. Tapi bagiku, aku butuh waktu seperti ini untuk berdamai dengan
diriku sendiri dan mencipta pribadi yang semakin mendamaikan diriku.
Mendamaikan? Ya, aku merenung juga karena memikirkan makna kata
“damai”. Seperti apakah damai bagi setiap manusia? Ah, aku tak
tahu. Bagiku cukup tentram dengan diri sendiri, tak merasa rikuh
dengan kehidupan, selalu bersyukur dan merasa tercukupi, itu sudah
cukup disebut damai. Entah bagaimana pendapat orang lain.
Tiba-tiba aku dapat ide. Sebaiknya aku merenung sambil ngopi di
teras rumahku. Menghabiskan pagi begini saja kadang memang menarik,
apalagi ditemani oleh secangkir kopi. Aku tak suka kopi pahit. Jadi
kopiku terasa manis. Lagi pula, siapa juga yang menolak sesuatu yang
manis? Tak terkecuali cerita hidup yang dituliskan pada setiap
manusia. Kopi yang manis.
Temanku datang tepat saat aku membuat kopi. Aku tawari dia, “Kopi
pahit saja,” pintanya. Dia paham kalau aku suka membuat kopi manis.
Dan dia sering protes jika aku membuatkan kopi manis untuknya.
“Tumben pagi-pagi begini?” tanyaku basa-basi.
“Iya, lagi iseng. Di rumah nganggur,” jawabnya, entah
basa-basi atau bukan.
Aku menyeruput kopiku. Masih panas. Lalu kutaruh begitu saja di
meja. Aku diam. Temanku kembali membuka pembicaraan, “Kamu nggak
sibuk, kan?” tanyanya.
Aku menangkap pertanyaannya sebagai pembuka dari urusan sebenarnya
dia datang kemari. “Tidak,” jawabku. Aku tak ingin menerka apa
tujuannya kemari. Mungkin memang hanya butuh teman saja.
“Aku ingin tanya pendapatmu, aku bingung, kita hidup itu harus
jadi orang yang seperti apa, sih?” tanyanya kemudian.
“Seperti apa?” tanyaku kembali menegaskan.
“Iya, seperti apa? Akhir-akhir ini aku hanya merasa sedang
dimanfaatkan oleh salah seorang rekanku. Aku merasa dia selalu datang
padaku saat dia membutuhkan aku saja,” jelasnya singkat. Aku
menangkap arah pembicaraannya.
“Loh, bukannya memang begitu?” tanyaku mencoba memancing
pendapatnya sendiri.
“Maksudmu?” tanyanya lagi.
“Iya, kan benar, kita manggil orang di waktu kita butuh saja.
Masa kita manggil-manggil orang waktu kita nggak butuh? Buat apa
coba?” jawabku. Mendengar jawabanku, temanku sesara tak setuju, dia
merasa belum menyampaikan maksudnya dengan baik.
“Bukan gitu maksudku,” katanya. “Kita hidup ini kan
bersosialisasi, saling berhubungan satu sama lain. Masa enggak pernah
berhubungan sebelumnya, tau-tau datang minta bantuan aja,” keluhnya
sekaligus mencoba menjelaskan.
“Hmm…” aku mencoba menanggapi.
“Apaan maksudmu? Komentarmu gitu doang?” selanya mencoba
protes.
“Enggak. Aku gak tahu aja mau ngasih pendapat kayak apa?”
jawabku terus terang.
“Kayak apa bagaimana? Menurut pandangan kamu itu
gimana?”
jawab temanku seperti sedang mencari persetujuan dariku atas
ungkapannya.
“Ya, kalau menurutku sih, tetap saja, wajar. Kan kita sejak
kecil selalu didikte buat menjadi orang yang baik tanpa harus
menyertakan pamrih. Jadi wajar, kan? Toh, dapat pahala. Masuk surga
loh!” jawabku sedikit bercanda.
“Ya, enggak gitu juga tapi. Masa enggak pernah ngobrol, jarang
nyapa, tiba-tiba aja minta tolong ini itu,” keluh temanku masih
kurang puas.
“Gini, seandainya kita melihat seseorang yang sedang kesulitan.
Orang yang enggak kita kenal, trus dia minta bantuan sama kita, kan
biasanya kita juga langsung membantu? Toh tanpa pamrih. Aku rasa
justru biasanya kita bersikap, seperti sikapmu sama rekanmu itu,
justru pada saat kita mengenal orang itu. Dan, menurutku ya, biasanya
kita memendam prasangka sama orang itu.” Aku mulai mengoceh
menjelaskan pendapatku.
“Gak tau juga sih. Bisa juga. Tapi jangan samain sama orang
asing yang enggak kita kenal dong. Kan beda!” jawabnya masih
mencoba ngeles.
“Iya, deh. Beda.” Aku mengalah. Aku sadar, baru saja aku
terlibat perdebatan yang tidak perlu. Mungkin pembicaraan seperti ini
bakal sering terjadi di setiap hariku. Pagiku yang semula ingin
kuhabiskan untuk merenung ternyata justru ditemani oleh temanku ini.
Bukan masalah juga sih. Toh, lebih berisi.
Aku mengikuti saja arah pembicaraan temanku. Entah sejak kapan aku
mulai malas untuk menanamkan pendapat-pendapatku pada orang lain.
Percuma. Kadang melihat pendapat diri sendiri, justru aku sungguh
terlihat sangat pesimis. Aku bukannya tidak setuju dengan pendapat
yang ada. Aku juga menghormati kebebasan berpendapat. Tapi apakah
jadinya jika kalimat ‘menghormati kebebasan berpendapat’ itu
dijadikan alibi untuk saling serang argumen hanya demi kemenangan
berpendapat dan mendapat pengakuan bahwa dia itu yang paling benar.
Bukannya dulu juga sudah pernah terjadi dalam pendebatan teori
antariksa tentang rotasi matahari dan planet lainnya. Ah, pikiranku
terlalu egois.
Temanku masih saja mengeluarkan opini-opininya tentang
bersosialisasi yang baik dan benar serta bagaimana cara meminta
pertolongan yang menurutnya benar dan sopan. Aku hanya mendengarkan
sambil sesekali memberi pendapat, sebagai pertanda bahwa aku
pendengar yang baik. Mungkin juga lebih ke pertanda bahwa aku masih
hidup ketika mendengarkan dia mengoceh.
Hubungan manusia itu lucu. Rumit. Atau tepatnya memang sengaja
diperumit. Antara satu dengan yang lain sungguh susah untuk dapat
menerima satu sama lain. Butuh proses ini itu. Yang tua merasa harus
dihargai oleh yang muda. Yang merasa lebih pandai butuh disanjung
dulu guna dimintai pertolongan. Yang merasa dibutuhkan, makin angkuh
saat ada yang meminta pertolongan. Ah, mungkin aku juga begitu. Kelak
di hatiku akan aku pasang cermin agar aku tak kebingungan melihat
sosokku dimana saja aku berada dan kapan saja aku mau.
“Ngobrol kayak gini memang berguna ya...” ucap temanku yang
membuar buyar lamunanku.
“Iya,” jawabku singkat, tapi aku belum paham maksud dari
kata-katanya.
“Sekarang kamu
udah jarang nyolot lagi buat nyampaiin
pendapatmu ya? Dulu
aja kalau dengar kalimat atau kata yang
nggak pas dikit
aja di telingamu, pasti langsung nyolot. Aku
nggak tahu kapan kamu berubah,” kata temanku mencoba menilai
sikapku sekarang.
“Hmm… Aku juga nggak tahu kapan aku berubah. Gak begitu ingat
sebabnya,” jawabku jujur.
Kalau aku pikir lagi. Memang aku tak begitu ingat kapan aku
berubah menjadi sosok yang pasif. Apa penyebab yang merubahku. Apa
ini merupakan dampak dari kekecewaanku akan kehidupan. Entahlah. Yang
jelas, dulu aku pernah kecewa lantara semua paham yang aku kemukakan
ditentang habis oleh orang-orang yang aku coba luruskan. Aku merasa
memiliki pemahaman yang lebih baik dari aku yang sebelumnya, berusaha
membagi pengalamanku pada orang-orang yang dekat denganku, tapi
mereka bilang bahwa pendapatku itu omong kosong. Aku hanya bisa diam.
Dulu aku adalah orang yang begitu serius. aku tak mengenal humor.
Bagiku humor adalah bagian kecil dari kenyataan yang coba diangkat.
Sering kali kritik sarkasme jusru dituangkan lewat humor. Tapi aku
heran, banyak orang yang tertawa terbahak-bahak justru karena humor
sarkasme itu. Entah mereka menertawakan humornya atau menertawakan
sarkasme yang dikandung humor tersebut. Yang jelas itu tidak lucu.
Pagi sudah hampir habis ketika temanku berpamitan untuk pulang.
Sepertinya gundah atau apapun itu yang mengganjal di hatinya sudah
terutarakan semua. Meski jujur saja, mungkin dia tak mendapatkan apa
yang dia mau dariku. Kalau aku pikir lagi, mungkin juga sifatku
barusan bisa dibilang dingin. Tapi aku cuek saja, bukannya hidup
memang begitu, sebenarnya cuek namun seakan menampakkan kepedulian.
Saat hendak beranjak dari halaman rumahku, temanku berkata padaku,
“Saat ini kamu begitu kosong.”
===
*nggak ada cerita, tapi pengen posting. seadanya.
0 Komentar