Saya bertengkar dengan kekasih.
Ini bukan hal bagus.
Mengingat saya begitu mencintainya.
Itu adalah pagi terindah dalam hidup saya, setelah dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya tanpa membicarakan dulu dengan saya. Saya seperti dibuang saat itu. Bahkan rasa itu kerap menghantui di setiap detik kesadaran saya bahwa dia tak lagi menginjak tanah yang sama.
Saya tak memahami jalan pikirannya. Benar-benar tak bisa memahami. Dan keputusannya yang sering tanpa pikir panjang atau sekali pun merasa perlu membicarakan dengan saya membuat saya merasa sama sekali tak penting dalam arus kehidupannya. Mungkin baginya, saya bisa menjadi salah satu kisah perjalanan masa remajanya. Tapi saya begitu mencintainya.
Menjalin hubungan jarak jauh. Hal yang seperti itu sering saya alami. Berjarak ratusan kilometer dengan tanah yang sama sudah cukup menyiksa, apalagi kami berada di tanah yang berbeda, waktu yang berbeda, dan adat yang berbeda. Sunguh terasa menghancurkan. Saya tak memahami jalan pikirannya, mengapa dia bisa memutuskan untuk meninggalkan saya tanpa membicarakan dulu dengan saya.
Sekepergiannya, hubungan kami tak bisa dibilang mulus. Itu sudah pasti. Tak ada orang yang bisa menerima dibuang dengan cara seperti itu. Lantunan kata yang selalu dia ucapkan tentang seberapa besar cintanya tak sejalan dengan apa yang diperbuatnya pada saya. Dia meninggalkan saya tanpa berbicara terlebih dahulu, tanpa meninggalkan kepastian. Adakah kebenaran dari tindakannya itu? Tapi saya begitu mencintainya.
Saya tertambat, ketika merasa dia adalah orang yang paling tepat. Mengerti dengan segala impian gila saya yang tampak mustahil di mata orang kebanyakan. Saya perangkai kata, pelantun nada, penoreh sketsa, adakah orang kebanyakan bisa mengerti isi kepala manusia yang seperti ini? Sedangkan dunia saja tidak banyak yang menghargai kerja keras mereka. Saya merasa nyaman ada bersamanya. Tenang dan teduh.
Saya ingin memilikinya.
Dengan hati yang hanya berisi saya.
Saya berikrar untuk mencipta sebuah karya yang mampu meluluhkan hatinya sebelum saya benar-benar melepaskan karya itu kepada dunia luas. Kepadanya karya saya berlabuh.
Di hatinya, pernah ada satu karya yang terukir indah menyerupai prasasti. Dijaga erat bagai sebuah catatan sejarah, yang mengisahkan tentang keteduhan dunianya yang terdahulu. Ada cinta. Tapi dia menyembunyikannya dan tak mau banyak bercerita tentangnya.
Saya datang, ketika dia hendak melangkah pada dari dunia itu. Dunia yang selama ini kami huni bersama. Dunia yang mempertemukan kami. Dia melangkah. Dan tak menaruh banyak rasa pada dunia yang sudah kering di hatinya itu.
Saya ditinggalkan sendiri.
Alam yang subur disapu kemarau.
Saya terbakar.
Berpuluh karya saya buat untuk membangkitkan gairahnya, membangkitkan cintanya, membangkitkan rasa kagumnya. Namun saya kalah. Saya bahkan tak bisa mendapatkan masa lalunya.
Petaka itu adalah kepergiannya.
Seperti buku ramalan kuno, satu demi satu hal yang saya khawatirkan mulai terjadi.
Dia tak lagi sama dengan dunia yang berbeda. Dia tak lagi seantusias dulu. Setiap obrolan kami berujung pertikaian. Saya mulai pesimis dan putus asa. Dan di tengah hancurnya perasaan saya itu, dia memutuskan untuk pergi tanpa membicarakannya dengan saya. Saya benar-benar meledak.
Tapi saya sungguh mencintainya.
Tak ada ketenangan dan keteduhan yang saya dapatkan ketika dia kembali ke tanah kelahirannya. Tak ada lagi belaian dan perhatian manja. Saya juga jengah. Dan perhatiannya memang tak lagi untuk saya semata. Saya buka siapa-siapa. Namun siapalah saya yang berharap bisa menuntut segenggam perhatian darinya?
Perlahan, semuanya terkuak. Prasasti itu memang benar adanya. Saya tak bisa mendapatkan masa lalunya. Saya tak bisa memenangkan masa kininya. Dan saya ragu untuk sekadar berada di bayangan masa depannya. Saya benar-benar kalah dan terbuang.
Duhai, adakah Tuhan mencipta manusia untuk sekadar dibuang dan dinistakan?
Mungkin saya yang salah, karena saya yang seharusnya menjadi memimpinnya. Menuntunnya ke jalan yang benar, dan membantai iblis-iblis yang berusaha membujuknya. Saya benar-benar tak paham.
Pagi itu, dengan menyingkirkan emosi saya yang sudah sangat mendendam hitam, saya mengirimkannya karya saya yang di malam sebelumnya dia acuhkan sedemikian rupa. Saya berusaha mengemis perhatiannya. Dan itu berhasil. Dengan begitu bahagianya saya mencoba merangkai kebersamaan kami lagi seperti pertama kalinya kami saling menyelipkan kasih. Saya singkirkan dendam. Saya begitu mencintainya.
Tapi badai itu datang di kala malam.
Badai bisu yang membekukan nuansa. Dia meminta saya untuk membuatkan sesuatu untuknya, yang kemudian sama sekali tak dilihatnya. Dan seperti sampah, dia mengucapkan pujiannya pada seorang makhluk dengan mata penuh belas kasihan. Saya tak butuh yang seperti itu.
Dialah makhluk terindah yang tak mampu memahami keindahannya. Merusaknya dengan ketidak ingin tahuannya. Dia acuh dengan semua. Bahkan dia sama sekali tak berusaha untuk memahami apa yang sebenarnya saya inginkan.
Apakah seorang bayi yang marah ketika lapar, lantas berkata kalau dia tak ingin makan, maka si ibu akan membiarkan bayi itu terus kelaparan tanpa memberikannya sesuap pun makanan?!
Dialah ibu itu!
Dialah ibu yang tega membiarkan bayinya kelaparan.
Tapi saya begitu mencintainya.
Berkali-kali dia berkata akan berubah (meskipun di sudah berubah semenjak dia meninggalkan dunia ini, dunia yang pernah kami huni bersama). Dan tak kurang saya meledakkan emosi untuk sekadar menyadarkannya tentang hal yang saya mau. Dan dia mengaku mengerti itu.
Tapi sampai saat ini, tak satu pun dari ucapannya itu yang dia lakukan.
Ditinggalkannya saya sendiri.
Mungkin semua ini sudah sangat begitu memuakkan. Tidak ada hari yang kami lalui tanpa ribut. Hubungan ini sungguh benar-benar menyiksa. Dan tak seperti wanita lainnya, dia sama sekali tak berusaha menenangkan kekasihnya. Tak berusaha bergelayut menja untuk membuat tenang kekasihnya. Tidak, semenjak dia memutuskan untuk meninggalkan saya sendirian tanpa membicarakannya dengan saya. Mungkin saya memang bukan siapa-siap. Hanya sekadar bayang kabut panas yang kelak hilang tersapu waktu.
Saya tak lagi mendapati kelembutannya yang dulu. Saya tak lagi mendapati bagaimana besarnya keinginannya untuk menjalani hari bersama saya. Dia bisa hidup sendiri. Saya lupa tentang itu.
Deritamu ialah ketika kau bertemu dengan seseorang yang merasa tak perlu hidup denganmu. Kau bisa ditemukan di toko pelelangan, dan membelinya dengan harga yang cocok.
Semalam kami ribut. Dia mudah sekali tertidur ketika saya ingin berbagi cerita. Cerita yang menurut saya penting untuk mendapatkan perhatian darinya. Saya jenuh jika harus mendapatkan apresiasi itu dari orang lain, dari teman-teman yang bahkan tak lebih besar pengetahuannya tentang dunia saya itu. Tapi dia yang sekarang, agaknya tak lagi mampu memberikan perhatian yang lebih baik dari teman-teman saya yang acuh dan amatir tentang dunia saya itu.
Banyak sekali caranya berkilah. Saya hanya bisa diam saja, atau meledak.
Dan semenjak perginya dari tanah yang saya injak, agaknya dia tak seberapa peduli lagi tentang hubungan ini. Tenang saja, santai, membiarkan semua berjalan seperti kata waktu. Bahkan dia sudah tak takut lagi ketika saya mengancamnya untuk saya tinggalkan. Dia pasrah saja. Biasa.
Itu bukan dia.
Bukan dia yang dulu.
Dia mengaku lelah.
Dan dia pasrah jika saya tinggalkan.
Bukankah kepasrahan semacam itu ibarat dia telah melepaskan saya begitu saja. Ibarat kucing, saya dilepas dirimba, terserah balik ke majikan atau pergi tanpa pamit. Terserah saya makan di rumahnya, atau mencari majikan baru.
Mungkin memang seperti itu posisi saya di matanya.
Matanya yang indah, namun saya tak tahu, apa sekarang masih seindah dulu. Teduh dengan binar polos yang penuh ingin tahu.
Saya membiarkan diri tersapu awan. Angin berhembus kencang hingga membuat badan saya goyah. Musim sedang berganti, mengirim demam yang setia menemani. Saya harus menyimpan rasa sakit sendiri, karena agaknya dia tak punya waktu untuk memerhatikan saya seperti itu. Tapi saya begitu mencintainya.
0 Komentar