Meski rembulan menggantung, tetap saja tak bisa menahan rintik lembut yang membasahi kota itu. Seorang gadis berlarian menembus gerimis disusul seorang pemuda dengan jarak tak sampai sejengkal. Mereka lebih memilih terdampar di restoran ayam goreng cepat saji daripada harus menunggu hujan reda di halte pinggir jalan.
Keduanya cekikikan setelah mendapatkan meja. Gadis itu memesan dua menu sekaligus. Si pemuda diam saja—percaya dengan keputusan si gadis. Mereka saling bertatap. Beradu pandang sampai salah satunya bermuka merah. Lalu tertawa sendiri. Jika si pemuda yang memerah, maka dia lantas memalingkan mukanya, salah tingkah, si gadis akan tertawa. Jika si gadis yang memerah duluan, maka si pemuda akan dicubit dengan gemasnya. Begitulah, si pemuda tak pernah untung.
Pesanan mereka datang, mereka memakannya dengan lahap. Ada rasa tak ingin segera habis, karena hujan di luar semakin ganas saja semenjak mereka berdua berada di restoran itu. Tapi makanan yang menjadi dingin tentu tak nikmat disantap, apalagi itu adalah ayam goreng. Renyahnya bisa hilang.
Entah sudah kali ke berapa kencan mereka ini. Sebagai makhluk perantauan, hidup memiliki pacar merupakan suatu berkah. Ada tempat bagi keduanya untuk membuang penat, melepas keluhan-keluhan yang mungkin tak bisa dibicarakan dengan orang tua atau teman mereka. Ada kalanya seseorang yang berkedudukan spesial di hati bisa menjadi satu-satunya tempat untuk menumpahkan segala kepelikan hidup. Mereka berdua pun tak sungkan untuk berbagi kebutuhan bersama. Anehnya, kencan seperti ini justru bisa mengirit pengeluaran sehari-hari. Mereka tak paham kenapa, tapi memang begitu adanya. Mungkin karena waktu si gadis terpesona oleh barang ini itu—sendal lucu, jepit rambut imut-imut, tas mungil, baju lucu, make up warna-warni—si pemuda bisa langsung mengingatkannya dengan berwibawa. Meskipun sering kali kemudian berakhir dengan cemberutnya wajah si gadis selama berhari-hari dan bekas-bekas merah terbakar di kulit si pemuda karena serangan ganas dari si gadis (entah itu dicubit, digigit, atau dipukul) tetap saja akhirnya si gadis urung membeli. Begitu pun saat si pemuda teracuni oleh barang-barang baru, seperti; sepatu, kemeja, kamera, action figure, laptop, pancing, kursi—segera saja dihentikan oleh gadisnya. Kali ini tak akan ada perlawanan karena si pemuda akan langsung menurut.
Mungkin ini adalah kencan terakhir mereka, sebelum salah satunya memutuskan untuk pulang kampung. Si gadis sudah mendapat pesan agar segera pulang dan menunggu wisuda di kampung halamannya sembari membantu bisnis keluarganya. Si pemuda masih belum jelas akan ke mana. Menghabiskan waktu di kota pelajar ini tanpa gadis itu akan terasa sepi. Tapi dia juga tak ingin buru-buru pulang. Setiap berada di rumah, dia selalu merasa semakin jauh dari gadisnya.
"Bagaimana hubungan kita nanti?" pertanyaan serius ini keluar dari mulut si pemuda. Jarang sekali keduanya membicarakan ini.
"Aku akan membicarakannya dengan kedua orang tuaku. Aku akan memperkenalkan kalian saat wisuda nanti," jawab si gadis.
Hubungan ini terasa menggantung tanpa kepastian seperti itu.
"Sepertinya dua bulan lagi. Jika tidak mundur."
Gadis itu mengangguk.
"Mungkin aku juga perlu pulang, mulai merintis di sana, atau mencari kerja yang tepat sambil menunggu wisuda. Setidaknya tidak memalukan saat bertemu orang tuamu, orang tua kita."
Keduanya saling menggenggam tangan. Ada pecah cahaya di binar mata si gadis.
"Bukannya aku ingin meninggalkanmu. Tapi ini permintaan dari orang tuaku."
Pemuda itu tersenyum tipis. "Aku tahu. Aku akan menunggu sampai kita benar-benar diakui oleh mereka. Aku akan memantaskan diri."
Hubungan itu baru terasa berat ketika keduanya merasa perlu untuk mengungkapkannya kepada kedua orang tuanya masing-masing. Gadis itu tak ingin malam segera habis. Mereka berdiam di restoran ayam goreng cepat saji itu hingga hampir tengah malam. Si pemuda beberapa kali menawar gadisnya agar segera kembali ke kos, namun gadis itu diam tak menanggapi. Dia lebih suka membicaraan bintang-bintang yang sudah mulai tampak di luar sana. Awan-awan mendung sudah terkikis. Dan udara meninggalkan kesan yang kelak akan dirindukan mereka di usia matang.
***
Minggu siang. Si pemuda termenung sendiri kursi pengunjung bandara. Gadisnya telah pergi. Meskipun awalnya dia berpikir bahwa perpisahan ini akan berat, namun tetap saja semua terlewati begitu saja. Waktu tak pernah melambat. Melaju seperti biasa. Tenang dan tepat sasaran. Dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah ini. Membicarakan hal yang lebih serius kepada kedua orang tuanya.
Dipandanginya jam tangannya. Gadisnya pasti masih berada di dalam pesawat. Belum juga satu jam mereka berpisah, tapi rasa rindunya semakin melekat. Mencekiknya hingga sesak. Mengiriminya pesan pun juga percuma. Baru akan sampai ketika gadisnya turun nanti.
Pemuda itu mengayunkan langkah, menjauh dari bandara. Mungkin waktu akan berbaik hati melaju lebih cepat saat dia berkendara ke rumah. Dia tinggal memetik rindunya di kamar.
Pesawat itu, apa yang dinaikinya?
***
Senyum renyahnya mengembang. Dia memutar berulang-ulang video itu. Video kiriman kekasihnya. Setidaknya itu bisa mengikis lelahnya. Gadisnya terlihat cantik sekali. Semakin cantik saat tak berada di sisinya. Terbesit cemburu di benaknya. Dia meletakkan sepatu. Rindu. Lalu beranjak ke kamar.
Sudah dua minggu dia melakoni wawancara kerja ke sana dan ke sini, namun belum ada hasil juga. Orang tuanya kadang menanyakan. Dijawab sekenanya. Sering kali urusan pencarian kerja ini membuat pikirannya buntu. Sempat ingin merintis usaha sendiri, tapi dia merasa terbentur dana.
Ibu pemuda itu masuk ke kamar menemuinya. Wajah si ibu terlihat lelah. Pasti ada hal serius yang hendak dibicarakannya—pikir pemuda itu begitu.
"Nak, apa kamu serius dengan permintaanmu waktu itu?"
Pemuda itu diam sejenak. Tak langsung menjawab. Dia memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
"Iya, Bu. Ananda rasa sudah waktunya ananda memegang tanggung jawab."
"Kamu sudah pikir benar-benar? Pilihanmu itu... tidak mudah, Nak..."
Pemuda itu berdiam. Bibirnya bergetar. "Ananda sudah memikirkannya, Bu."
"Bukan hanya dirimu yang akan terikat dalam pertalian. Bukan hanya keluarga, namun kamu juga akan mengikat dua adat yang berbeda, Nak."
"Ananda rasa bukan itu permasalahannya, Bu. Ananda sadar, saat ini mohon beri restu untuk jalan ananda ini agar mampu memantaskan diri. Ananda sedang mencobanya."
Ponselnya berdering. Dari kekasihnya. Pemuda itu meminta izin untuk menjawabnya. Si ibu memahaminya. Dia meninggalkan putranya itu sendirian di kamarnya.
"Lagi apa?" suara ceria dari seberang.
"Lagi mikirin kamu," jawab si pemuda iseng.
"Ih, memangnya mikirin apa?"
"Enggak. Cuma, kapan ya bisa hujan-hujanan sama kamu lagi?"
Gadis itu tertawa. Air matanya meleleh dimakan rindu.
***
Waktu bergulir dengan rutinitas yang biasa. Mencekik rindu hingga menguap. Disapu hujan dan dikeringkan oleh panas. Musim yang masih tak jelas. Hari yang dinantikan itu tiba. Kedua keluarga bertemu dalam satu acara sakral: kelulusan anak mereka.
Gadis itu tak bisa menyembunyikan malu. Pipi merona makin merah meski sudah dimerah-merahi dengan pewarna muka. Matanya berbinar menahan rindu yang tak bisa meluap karena ada orang tuanya. Begitu pula si pemuda. Berbinar matanya dan bertingkah tak keruan karena gugupnya.
Si gadis berhasil diculik saat sore hampir menjelang. Di ajaknya menyelinap ke warung pinggir jalan. Memesan dua gelas es degan dan meminumnya seperti onta kehausan. Pemuda itu tertawa sendiri melihat paras gadisnya. Cantik sekali, namun tak biasa. Gadisnya tak pernah berdandan semencolok itu. Tak biasa dilihat mata.
Ditertawakan seperti itu membuat si gadis langsung cemberut. Tapi bukannya tambah jelek, tetap saja gadis itu terlihat menarik. Makin bikin gemas. Dan si gadis gemas sendiri karena gagal membuat kekasihnya itu menyesal sudah menertawakannya.
"Ayo, sudah selesai minumnya?" tanya si pemuda.
"Sebentar lagi. Kenapa, sih, kok buru-buru?"
"Enggak enak sama orang tua kita. Mereka pasti sudah menunggu."
"Biar. Aku belum selesai kangennya!"
"Ayo, nanti kangennya bisa dilama-lamain lagi kalau ngobrol sama orang tua kamu sudah selesai."
Senyum si gadis mengembang. Pipinya merona. Dia langsung menurut tanpa perlu cemberut. Diulurkan tangannya agar digandeng kekasihnya. Keduanya beranjak dan langsung menuju ke tempat orang tuanya menunggu.
***
Belum ada panggilan satu pun dari belasan wawancara yang didatangi oleh pemuda itu. Dia merenung sembari menunggu. Memikirkan masa depannya yang masih mengambang. Kekasihnya sudah kembali ke kampung halamannya. Tak ada lagi jumpa. Dan perjumpaannya selanjutnya benar-benar tak dapat dipastikan oleh waktu. Semua tergantung padanya.
Tergantung padanya—
Jika dia masih percaya pada dirinya. Sedang saat ini dia benar-benar merasa rendah dan tak berdaya. Setiap obrolannya dengan gadis itu hanya membawa pilu yang semakin menumpuk. Beberapa kali gadisnya mencoba menghiburnya. Beberapa kali dia berusaha tertawa, namun ketika mendongakkan kepala, dia kembali sadar dengan realita. Dan segala ketidakberdayaannya itu kembali melunturkan keceriaannya. Menghantuinya hingga merasuk ke sumsum tulang dan melumpuhkannya.
"Seratus juta itu bukan uang yang sedikit, Nak. Ibu sudah bilang soal ini. Ayahmu tak akan setuju. Dia tak akan mau membantu."
"Apa benar-benar tak bisa dirundingkan lagi?"
"Ini soal adat. Bagi mereka, itu adalah caramu menghargai mereka."
"Lantas mereka menomor duakan perasaan anak-anak mereka? Menghargai dengan materi yang menyulitkan bagi calon pendamping putri mereka?"
"Ibu sudah bilang, lebih baik kamu mencari yang dekat saja. Kita berbeda dengan mereka."
"Bukankah yang seperti ini sama saja mereka mencoba mencoreng muka keluarga kita, Bu? Keterbatasan dan ketidak mampuan kita menjadi tertawaan bagi mereka!"
Pemuda itu tersungkur di pangkuan ibunya. Menumpahkan kepedihan dan kekecewaannya. Pertemuan itu tak berjalan lancar. Semua di luar perkiraannya. Dia tak belajar lebih mengenai tanah asal-usul kekasihnya.
Berhari-hari setelah perpisahan itu, dia hanya mendengar isak tangis kekasihnya di balik suara ponselnya. Hubungannya semakin gelap. Semakin terasa gelap. Sementara dia dan keluarganya tak tahu bagaimana untuk menjawab permintaan keluarga si gadis itu. Belum juga dia memikirkan untuk hal lainnya. Pikirannya semakin berat.
Setiap jeda dalam waktunya, membuat kenangan itu terselip dalam lamunannya. Membuat batinnya panas dan terhina. Bukan cinta atau perasaannya yang dipertanyakan. Ketika cinta dan kesungguhannya hanya diukur lewat materi, apa bisa sebuah ketulusan menggantikannya? Dia merasa butuh banyak belajar tentang kehidupan.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kekasihnya masih dalam penantian. Obrolannya tak secerah dulu. Pemuda itu masih belum mendapatkan kerja yang layak. Bahkan dia masih belum mampu menghidupi diri sendiri.
Kekasihnya mengirim pesan. Dingin seperti biasa. Dipaksa ceria pun tak bisa. Pemuda itu selalu teringat akan harga yang harus dibayarnya. Meski kekasihnya itu berusaha ceria, tetap saja si pemuda tak bisa mengimbaginya.
"Hari ini Ayahku bilang, ada seorang pemuda yang datang ingin menemuiku."
Bagai jantung yang panas, lalu tiba-tiba tersiram air dingin hingga membuatnya ingin meledak. Pemuda itu membeku. Terdiam dalam amarah dan kecemburuannya. Dia begitu kecewa dan putus asa. Pesan itu menghancurkan harapannya yang hanya tinggal secuil.
Mungkin perasaannya memang tulus. Mungkin hatinya memang teguh. Namun selama syarat itu tak mampu dipenuhinya, apalah arti ketulusan dan sesungguhannya? Perasaan yang selama ini diagungkannya harus terlindas oleh sebuah aturan baku. Tanah yang terikat adat, masih adakah masyarakat yang berani berkhianat?
Beberapa hari setelah dia berhasil menenangkan diri, dia memantapkan hati untuk membalas pesan dari gadis itu.
"Adakah dia ingin meminangmu?"
Ponselnya berdering. Segera diraihnya dan dibukannya sebuah pesan dengan nama gadis itu. Pesan yang sudah dia duga isinya.
Ya—
Pemuda itu membaringkan badan di kasurnya. Dia melelapkan mata—ingin bermimpi sebentar saja. Barangkali Tuhan memberinya sedikit kesempatan untuk meraih kebahagiaan cintanya. Meskipun kebahagiaan itu harus dilihatnya melalui mimpinya fana.
Dirangkainya kenangan-kenangan yang dihabiskannya berdua dengan gadis itu. Dikenangnya senyum ceria gadis itu. Cara nakalnya saat mencubitnya dengan gemas meskipun dia tak bersalah. Cara gadis itu makan. Cara gadis itu merengek saat menginginkan sesuatu. Rona merah di pipi gadis itu saat berdua saja dengannya. Langkah-langkah yang dilahapnya berdua saja dengan gadis itu. Daun-daun yang basah setelah hujan. Dia berharap bisa melaluinya sekali lagi dalam tidurnya. Dia tak ingin menyerah begitu saja. Dia tak ingin kehilangan.
Di tengah lelahnya itu, ponselnya berdering oleh nomor yang tak dikenal. (*)
===
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
0 Komentar