Ketika itu saya bekerja dalam bidang pengrajin. Bersama seorang sahabat membicarakan hal-hal yang seperti tak bermuara. Kami masing-masing berkisah tentang kerinduan ingin kembali pada hati yang damai, tak penuh dengan keruh dunia.
"Aku rindu ketika masa melintas kerajaan langit di tengah samadhi, udara murni yang sejuk melegakan dengan rasa damai yang tak mampu dilukis kata. Aku ingin mengalaminya lagi," tutur saya pada sahabat.
"Jangan. Jangan berambisi. Berharap tujuan itu ambisi. Ingin ini-itu juga ambisi. Akhirnya laku jadi tidak murni," nasihat sang sahabat.
Saya lantas merenungkan ucapnya. Kiranya benar, semua yang telah saya alami murni pengalaman tanpa ambisi. Alih-alih sebagai hadiah. Lalu ketika warna itu kembali mematang, saya merasa kehilangan semuanya dan terjebak warna semu yang berselimut kekentalan gelap dunia. Saya terdiam. Lalu menjalani semua tanpa pengetahuan.
Terkenang lagi tentang keinginan mencari Tuhan. Ada pentuah, "Saat kau mencari, sesungguhnya kau tidak mengerti." dan petuah itu mengisyaratkan bahwa pencarian seseorang tentang Tuhan adalah upaya menghilangkan Tuhan dari hidupnya. Keinginan untuk 'menemukan' justru memisahkan dirinya dari Rabb-nya. Karena kita tak mungkin menemukan sesuatu yang sebenarnya tidak hilang. Dan itu menyesatkan langkah kita pada ruang hampa yang justru menjauhkan kita pada apa yang sebenarnya tidak hilang.
"Hilangnya Tuhan dari hidup kita betul-betul karena keinginan kita untuk menemukan-Nya!" kata seorang Guru. Ajaib!
Terkadang, terkenang masa lucu yang membuat seseorang merasa bodoh saat mencari benda yang sebenarnya dekat dengannya.
"Di mana bolpoinku? Ada yang lihat bolpoinku? Ada yang pinjam?" kegusaran seseorang yang sedang mencari sebuah bolpoin miliknya yang sebenarnya sedang ia genggam sendiri.
Ketika lantas dia tersadar, dia akan menyadari ketololannya. Dia tak pernah kehilangan apapun. (*)
0 Komentar